Seiring meningkatnya kebutuhan pangan dan semakin terbatasnya lahan untuk memproduksi ikan hasil budidaya khususnya untuk budidaya ikan di air tawar, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) fokus mengembangkan budidaya ikan dengan sistem mina padi yang merupakan combined and integrated farming antara budidaya ikan dan budidaya padi di sawah.

Melalui mina padi, produktifitas sawah diyakini akan meningkatkan produksi ikan secara organik dan ramah lingkungan, baik dari padi yang dihasilkan maupun hasil panen dari ikan. Selain itu, mina padi juga dipercaya akan mencegah dan menahan laju alih fungsi lahan pangan menjadi lahan non-pangan. Mina padi-pun diharapkan menjadi kegiatan yang dapat menyerap tenaga kerja bersifat padat karya sehingga mampu mencegah urbanisasi.

Di Indonesia, mina padi mulai dikembangkan sebagai salah satu sistem budidaya ikan pada tahun 1970-an. Namun sejatinya, sistem mina padi sudah dikenal masyarakat khususnya di Jawa Barat seperti Ciamis sejak tahun 1860. Pada tahun 2011, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) mengembangkan program mina padi dengan komoditas ikan/udang. Tahun 2014, mina padi yang berlokasi di Kabupaten Sleman mendapat apresiasi dari organisasi pangan dan pertanian dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). FAO mengakui metode budidaya ikan tawar ini sebagai bagian dari salah satu program pertanian unggulan global.

Program mina padi ini pun perlahan mulai terlihat hasilnya secara massal. Pada 2016, sistem mina padi mampu menambah penghasilan petani hingga US$ 1.700 atau setara Rp. 22 juta (kurs Rp. 13.000 per US$) per hektar per musim tanam. Meningkatnya produksi mina padi juga berpengaruh pada inovasi yang berbasis kluster seperti pengelolaan air yang efisien, minimnya penggunaan pestisida dan obat-obatan, berkurangnya penggunaan pupuk kimia, rendahnya serangan hama. Pada sisi sebaliknya, petani mendapatkan tambahan pendapatan dari ikan yang dibudidayakan.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto mengungkapkan, mina padi merupakan cara yang efektif untuk sinergitas keberlanjutan usaha pertanian dan perikanan serta meningkatkan kesejahteraan dan mewujudkan kedaulatan pangan. “Prospek mina padi di Indonesia juga masih cukup besar, sebab dari sekitar 8,08 juta hektar lahan tanaman padi di Indonesia, yang baru menggunakan sistem mina padi hanya 142.122 hektar atau hanya sekitar 1,76 persen,” tambahnya.

Selain itu, tanaman padi yang dihasilkan lebih berkualitas karena mina padi memungkinkan terciptanya pertanian organik yang ramah lingkungan dan produknya lebih sehat. “Dari budidaya mina padi, juga dapat dihasilkan beras organik yang bebas dari unsur pestisida kimia serta memiliki kandungan nutrisi dan mineral yang tinggi, kandungan glukosa, karbohidrat dan proteinnya mudah terurai sehingga sangat aman untuk dikonsumsi,” tutur Slamet.

Seiring meningkatnya keberhasilan program mina padi ini, KKP memprioritaskan mina padi sebagai program utama dalam kinerja Tahun 2018. Bantuan KKP untuk sarana budidaya mina padi pada tahun 2018 mencapai Rp 7,5 miliar dengan rincian 250 unit tersebar di 6 provinsi yang mencakup 9 kabupaten yakni Kabupaten Pasaman Barat dan Kabupaten Dharmasraya di Provinsi Sumatera Barat, Kabupaten Bungo di Provinsi Jambi, Kabupaten Pangkajene Kepulauan di Provinsi Sulawesi Selatan, dan Kabupaten Tabanan di Provinsi Bali. Sementara itu, di Provinsi Jawa Barat yakni Kabupaten Pangandaran, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Tasikmalaya serta Kabupaten Banyumas di Provinsi Jawa Tengah.

Dengan bantuan tersebut diharapkan dapat menghasilkan outcome budidaya ikan hasil mina padi sebanyak 10,67 ton/tahun dengan nilai Rp. 45,33 miliar/tahun.

Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here