KABARRAFFLESIA.com – Sebanyak 4 ribuan warga Padang Bano terancam kehilangan hak pilihnya pada Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) mendatang. Hal ini diakibatkan belum jelasnya konflik tapal batas antara Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Lebong.
“Kalau tahun 2014 dulu, jumlah mata pilih di lima desa Padang Bano, desa Sebayua, desa Limes desa U’ei, dan Desa Kembung ada 4 ribuan pemilih. Pada Pileg dan Pilpres tahun depan seperti ini tidak akan bisa menyalurkan hak pilih,” demikian disampaikan Kepala Desa Padang Bano Amirul kepada Kabar Rafflesia, Jumat (3/8).
Dia mengatakan kejadian tidak bisa memilih ini sudah pernah terjadi pada saat Pemilihan Bupati di Kabupaten Lebong 2015 lalu. Padahal, warga yang ada di lima desa tersebut mengantongi Kartu Tanda Penduduk (KTP) Kabupaten Lebong.
“Pada Pileg dan Pilpres 2014 kami memilih untuk Kabupaten Lebong, namun sejak tahun 2015 kami tidak memilih lagi,” ungkapnya.
Terkait hal ini, Amirul mengaku pihaknya sudah menyurati Pemerintah Provinsi Bengkulu, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pemerintah Kabupaten Lebong dan Bengkulu Utara. Namun, belum ada tindak lanjut dari semua pihak tersebut.
“Bahkan, Komnas HAM sudah menyurati Kemendagri agar permasalahan ini diselesaikan. Namun sudah sebulan ini, belum ada tindak lanjut dari pemerintah,” sesalnya.
Menurut Amirul, permasalah tapal batas yang berujung merenggut hak pilih ini merupakan kejahatan hak azazi manusia. Sebab, warga negara Indonesia yang ada di luar negeri saja bisa memilih. Tak hanya itu, warga binaan yang ada di penjara juga masih bisa mendapatkan hak pilih.
“Lalu apa salah kami ini? Kami ini tidak pernah melakukan kejahatan,” tegasnya.
Tak hanya persoalan mata pilih saja, Amirul mengatakan dana desa yang menjadi hak desa juga urung mengucur karena permasalahan ini. “Sejak 2017 kami tidak dapat lagi dana desa,” ujarnya.
Ia harap permasalahan ini bisa ditanggapi serius oleh pemerintah. Sebab, nasib mereka sekarang seolah digantung tanpa kepastian.
“Ini luar biasa meresahkan bagi kami. Kami tidak lagi mendapatkan pelayanan dari pemerintah,” kata dia. (cho)