Oleh : Wendy Hartono*

TAMAN Nasional Gunung Gede – Pangrango (TNGGP) merupakan salah satu Taman Nasional tertua di Indonesia, terletak di Provinsi Jawa Barat, berada diantara tiga kabupaten Cianjur, Sukabumi dan Bogor dengan luas wilayah 22.851,03 hektar.

Gunung ini ditetapkan sebagai Taman Nasional pada tahun 1980 melalui surat keputusan Menteri Pertanian 1980 dan telah dinyatakan sebagai Cagar Biosfer oleh UNESCO untuk menjadi kawasan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan.

Berdasarkan upaya dan ilmu pengetahuan yang handal dengan mengutamakan pendidikan lingkungan, penelitian dan ekowisata guna menanamkan pengetahuan berbasis konservasi, memberlakukan peraturan ketat memasuki kawasan yang sifatnya merusak ekosistem dan membatasi jumlah pengunjung mendaki kedua gunung tersebut untuk mencegah terjadinya pencemaran dengan system kuota.

Keindahan panorama alam Gunung Gede – Pangrango tidak lepas dari cerita – cerita legenda tanah Sunda, dalam Naskah Bujangga Manik telah di sebut – sebut puncak dan bukit Ageung (Gunung Gede) yang disebutnya sebagai “..hulu wano na Pakuan” (tempat yang tertinggi di Pakuan).

Dari sekitar abad 13 jalur yang mempertemukan kota tua Cianjur dan Bogor melalui Cipanas. Bagian lereng pegunungan yang rendah, tidak rata dan berteras-teras memiliki kesuburan tanah sangat cocok digunakan untuk lahan pertanian dengan berlimpahnya air yang tidak pernah menyurutkan aliran sungai – sungai yang bersumber dari mataair lembah – lembah indah Suryakencana Gunung Gede dan Mandalawangi Gunung Pangrango tidak pernah dilanda kekeringan walau memasuki bulan kemarau, sehingga pada masa penjajahan kolonial Belanda dijadikan tempat areal pertanian dan perkebunan.

Nampak jelas dan nyata kita lihat dijalur – jalur Puncak sisa – sisa peninggalan pemerintah colonial Belanda tanaman teh Jepang yang mulai ditanam dan dikembangkan pada tahun 1728 dilembah – bebukitan sekitar kawasan Gunung Gede – Pangrango, menjadi sejarah panjang penghisapan dan penindasan pemerintah kolonial Belanda terhadap rakyat pribumi, membekas hingga abad 21 ini, masih terus berlanjut warisan tradisi pemerintah colonial Belanda oleh perusahan – perusahaan perkebunan teh swasta memberikan upah rendah Rp. 20.000 perhari kepada buruh – buruh dan mempekerjakan anak – anak dibawah umur, tanpa adanya tunjangan kesehatan dan sarana pendidikan yang memadai bagi kesejahteraan buruh – buruh perkebunan teh tersebut.

Semenjak ditetapkan menjadi kawasan Taman nasional Gunung Gede – Pangrano sebagai kawasan hutan konservasi yang lebih mengedepankan pelestarian alam dan lingkungan, penduduk setempat yang tinggal di batas – batas wilayah kawasan Taman Nasional Gunung Gede – Pangrango yang mengandalkan sumber pendapatan dari pertanian.

Di petakan – petakan tanah kurang dari 1 hektar menanam padi, sayur – mayur, buah strawbery dan bunga – bunga hiasan menjadi ciri khas asli tanaman budidaya masyarakat Cipanas Puncak mendapat penghasilan sebagaimana kita saksikan di sepanjang jalan raya Cibodas berjajar disetiap pinggir jalan berbagai jenis tanaman bunga, dibeli sebagai oleh – oleh wisatawan sehabis berekreasi ke Kebunraya Cibodas dan Airtejun Cibeureum juga mendaki gunung Gede – Pangrango.

Namun maraknya pembangunan di zaman pemerintahan Orde – Baru Suharto, telah mengubah wajah kehidupan masyarakat di sekitar Puncak – Cipanas, lahan – lahan pertanian yang semula milik garapan masyarakat untuk bercocok – tanam, tergerus oleh pesatnya pembangunan – pembangunan Villa, areal wisata dan Lapangan Golf yang dikerjakan PT Bandung Asri Mulia (BAM) yang sebagian besar sahamnya dikuasai salah satu anak Suharto.

Mengusir paksa petani – petani pergi dari lahan garapannya, tanah yang sudah digarap secara turun – temurun, konflik social tidak terelakan lagi 287 petani dan 500an buruh – tani kehilangan mata pencarian, berdampak luas kasus ini menjadi isu nasional bagaimana kekejaman Pemerintah Orde Baru menindas rakyat di bawah kaki Gunung Gede – Pangrango, telah mengubur masa depan ratusan nyawa manusia yang menggantungkan hidup dari kesuburan tanah mencari nafkah untuk makan keluarga.

Ternyata dibalik keindahan alam Gunung Gede – Pangrango sebagai objek wisata menantang mendaki gunung menantang, kawasan yang memiliki keaneka ragaman hayati menjadi focus penelitian pemerhati alam dan lingkungan, praktek kerja lapangan mahasiswa – mahasiswa Fakultas Kehutanan, menyimpan sejarah panjang penindasan pemerintah colonial Belanda dan pemerintah Orde – Baru Suharto terhadap rakyat yang jarang diketahui banyak orang.

Inilah makna yang seharusnya di lakukan Organisasi – Organisasi yang mengatasnamakan Pecinta Alam, disaat mendaki gunung – gunung di Indonesia, bukan sekedar berjalan lelah menepi puncak menatap keindahan pemandangannya, menancapkan bendera sebagai tanda bangga menalukkan ketinggian, melainkan bagaimana mengetahui kondisi social,ekonomi dan budaya masyarakat didekat kaki gunung dan berbuat sesuatu untuk mereka dan ada manfaat bagi kehidupan mereka.

Soek Hok Gie, tujuan sebenarnya mendaki gunung sebagai kaum muda, berjiwa patriotis cinta terhadap tanah air adalah manusia – manusia yang tidak percaya pada slogan.Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrasi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal akan objeknya.

Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus
berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung. Melihat alam dan rakyat dari dekat secara wajar dan di samping itu untuk menimbulkan daya tahan fisik yang tinggi.

*Ketua KPW – STN Jawa Barat

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here