KABARRAFFLESIA.com – Kosa kata ‘inanimate’ sering dimaknai sebagai kematian. Karenanya makna istilah ini senantiasa ditemukan dalam proses kehidupan ini. Alasannya jelas, kematian dan kehidupan merupakan pasangan kasunyatan sebagaimana dua sisi mata uang. Dalam agama dan kepercayaan lokal, dipercaya bahwa kematian hanya transisi dari kehidupan yang lebih panjang.
Dalam kebudayaan, soal hidup dan mati sangat penting. Karena kebudayaan bukan semata urusan orang per orang. Dalam sekian puluh tahun orang per orang akan mati. Tapi kebudayaan adalah produk umat manusia yang berlangsung sampai ratusan bahkan ribuan tahun. Secara keseluruhan menjadi peradaban yang berpengaruh dalam –baik fisik maupun nilai– proses kehidupan dan kematian umat manusia.
Kosa kata ‘inanimate’ ini juga yang diangkat jadi tema pameran seni di Rumah Budaya Tembi, Yogyakarta.
Sejumlah karya rupa juga karya prosa dihadirkan oleh nama-nama seperti Anggara Rikardus, Arif Safari, Hananta Nur, Lanjar Jiwo, Oktaravianus Bakara, Radilah, Stevan Sixcio Kresonia, Aa Nurjaman, Enjun Junaedi, Maharshi Lintangnabi, dan Muna Yuki Sastradirjo.
Pamerannya sendiri berlangsung dari tanggal 18-24 April 2019, dibuka oleh Ibu Dian Anggraeni serta penampilan performance art oleh Innanimate dan Komunitas Onthel Demangan.
Lanjar Jiwo salah seorang peserta pameran menjelaskan, “Even ini menjadi ruang kita dalam menyuarakan isu-isu lingkungan, sosial, politik dan kebebasan berekspresi, ” ujar perupa yang memberi judul karyanya ‘Alam Terkembang’ ini.
“Tanpa cinta, proses kreativitas dan produktivitas akan terjebak dalam inanimate. Proses kreativitas dan produktivitas bisa terperangkap dalam kebendaan, commodity fetishism, maupun konsumerisme di satu sisi dan eksploatasi di sisi lain. Tanpa cinta, penghancuran alam tanpa usaha pemulihan (recovery) dianggap lazim, menafikan dan menolak orang-orang yang berbeda dinilai dinilai wajar. Dalam kesenian, fenomena seperti ini juga bisa terjadi jika dalam proses penciptaan karya hanya berlangsung tanpa greget rasa sehingga tidak kelihatan jiwanya. Semuanya kemudian berjalan mekanik, “demikian bunyi pengantar pameran ini. (Sukir Anggraeni)