Oleh: Dr. Muhsin Labib, MA*

USAI merayakan pesta demokrasi dalam pilres dan pileg yang dilaksanakan serentak dalam suasana aman dan damai, kita menghadapi ujian demokrasi.

Beberapa jam setelah berakhirnya pemungutan suara, sejumlah lembaga survei mengumumkan hasi quick count yang memperlihatkan selisih besar suara antar dua paslon.

Meski dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan hasilnya nyaris akurat, paslon yang dinyatakan menang dalam quick count tak mengklaim kemenangan dan menyatakan menunggu hasil penghitungan manual yang diumumkan oleh KPU selaku juri pemilu.

Paslon yang kalah dalam quick count justru mengumumkan kemenangan dengan mengandalkan hasil penghitungan yang dilakukannya sendiri dan sejumlah kecurangan yang dituduhkannya. Kegaduhan pun terjadi.

Bila diperhatikan dengan seksama, partai-partai koalisi 02 terlihat tidak menggebu dan agresif dalam mendukung klaim kemenangan paslonnya. Salah satu partai pendukung yang sejak sebelum pemungutan suara telah mengkritik paslon dukungannya karena mengedepankan politik identitas dalam kampanye, malah menarik diri dari acara-acara ditujukan sebagai pengumuman kemenangan.

Partai pendukungnya yang lain juga menyatakan akan menerima hasil penghitungan manual KPU. Sedangkan partai relijius yang menjadi pendukung koalisi 02 sedang menikmati kebahagiaan karena lonjakan jumlah suara pemilihnya malah menafikan pengaruh paslonnya dalam menambah suara pemilihnya.

Terlepas dari dinamika politik pasca pemilu, ada sebuah fenomena sosial yang perlu diperhatikan. Mungkin karena terpesona oleh relijiusitas dan tak menggunakan logika dalam beragama, tak sedikit dari masyarakat terutama kalangan perkotaan yang tak sadar telah menjadi mangsa ekstremisme.

Kita bisa mengenali mereka dengan mudah melalui pandangan-pandangan yang mencerminkan intoleransi, eksremisme, ujaran kebencian sekrarian dan rasial. Mereka bukan hanya person-person yang tampil sebagai tokoh agama semata tapi mereka merepresentasi sebuah gerakan masif dan sistematis dengan mengeksploitasi simbol agama dan jargon pemurnian melalui beragama program penggalangan dana musibah, pendirian aneka pendidikan intensif agama, perekrutan berjenjang kader-kader di seluruh lembaga pendidikan formal dari SD hingga PTN dan PTS hingga menguasai sektor-sektor penting publik, instansi-instansi negara, BUMN, perusahaan swasta nasional dan asing. Beberapa oknumnya justru terduga menjadi penggalang dana bagi gerakan teroris di Suriah.

Mereka adalah anasir di luar koalisi formal yang tak percaya demokrasi bahkan tak percaya kepada institusi negara dengan asas Pancasila dan UUD. Karena itulah mereka tak merisaukan efek negatif terhadap citra paslon 02, dan ancaman disintegrasi serta martabat bangsa dan negara ini di mata dunia.

Lebih dari itu, karena menganggap negara yang tak berdiri di atas sistem yang diyakininya dalam doktrin irrasional dan utopis itu sebagai toghut dan musuh, mereka menganggap penyebaran dusta dan apapun boleh dikakukan. Merekakah biang kegaduhan dan para penumpang gelap demokrasi.

Waspadalah.

*Dosen Filsafat di UIN dan Sekolah Tinggi Filsafat Sadra Jakarta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here