1 Mei 1920 merupakan pertama kali peringatan hari buruh atau May Day Di Indonesia sebagai kekuatan pendukung rakyat Indonesia disektor buruh memperjuangan keadilan dari pemerintah kolonial Belanda atas kesamaan hak dan upah yang layak, pertama kali digelar peringatan hari buruh ini di kota Surabaya yang dihadiri ratusan anggota Serikat Buruh Kung Tang Hwee Koan yang sebetulnya bermarkas di Shanghai, tetapi punya ratusan anggota di Surabaya.

Sneevliet dan Bars menghadiri perayaan hari buruh itu dan menyampaikan pesan ISDV di sana. Dalam tulisan “Peringatan 1 Mei Pertama Kita”, Sneevliet tidak menutupi rasa kekecewannya atas perayaan itu. Meskipun sudah dipublikasikan secara luas dan besar-besaran, tetapi perayaan itu hanya menarik orang-orang eropa dan hampir tidak ada orang-orang Indonesia.

Baca juga: Makan Siang Bareng Buruh, Jokowi Minta May Day Berlangsung Kondusif

Meskipun begitu, sejarah kemudian mencatat bahwa perayaan 1 Mei 1918 di Surabaya itu adalah peringatan Hari Buruh sedunia pertama kali di Indonesia, bahkan juga disebut-sebut pertama-kali di Asia.

Bahkan juga disebut-sebut pertama-kali di Asia. Perayaan Hari Buruh bukan hanya didominasi oleh golongan komunis, tetapi juga oleh serikat-serikat buruh non-komunis. Misalnya, pada hari buruh 1921, Tjokroaminoto, ditemani muridnya, Soekarno (Bung Karno), naik ke podium untuk berpidato mewakili Serikat Buruh di bawah pengaruh Sarekat Islam.

Peringatan Hari Buruh Internasional pada 1946 kembali dilaksanakan di Alun-Alun Yogyakarta dan dihadiri Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta, serta Sultan Hamengkubuwono IX, hingga Amir Sjarifuddin.

Ada yang istimewa dalam peringatan Hari Buruh saat masa awal kemerdekaan ini. Pasalnya selang dua tahun dari perayaan pertama, pada 1948 dikeluarkan Undang-Undang Kerja Nomor 12 Nomor 1948 yang mengesahkan 1 Mei sebagai tanggal resmi Hari Buruh. Dalam Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang tersebut dikatakan, “pada hari 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja”.

Pada masa Bung Karno menjabat presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno tidak pernah melarang peringatan May Day, bahkan menyatakan dengan tegas pada pidato peringatan hari buruh tanggal 1 Mei 1962 sebagai berikut :

Perajaan hari internasional buruh 1 Mei bukanlah perajaan Komunis, tetapi perajaan oleh seluruh kaum buruh internasional. … Ja, untuk merajakan kemenangan ini, bahwa kaum buruh dapat mentjapai djam kerdja satu hari 10 djam, jang tadinja sampai 18-19 djam sebagai hasil daripada perdjuangan kaum buruh jang bersatu, bahkan sebagai hasil daripada perdjuangan kaum buruh internasional.”

Pernyataan Bung Karno mengenai perayaan hari buruh tersebut, menyiratkan arti pentingnya perayaan hari buruh. Perjuangan kaum buruh membawa hasil yang dinikmati oleh masyarakat luas. Apabila melihat sejarah dari awal berdirinya Republik Indonesia satu – satunya presiden yang memberikan wejangan wejangan berupa pidato kepada para pekerja saat memperingati hari buruh.

Di masa pergerakan, jauh sebelum menjadi Presiden, Sukarno pernah menulis artikel bertajuk “Bolehkan Sarekat Pekerja berpolitik?”. Di situ Sukarno mengkritik habis-habisan seorang tokoh yang menuntut gerakan serikat buruh tidak usah berpolitik.

Bagi Sukarno, perjuangan politik bagi serikat buruh, paling tidak, adalah dimaksudkan untuk mempertahankan dan memperbaiki nasib politik kaum buruh, atau mempertahankan “politieke toestand”. Hal ini sangat terkait dengan masa depan gerakan buruh, yaitu penciptaan syarat-syarat politik untuk tumbuh-suburnya gerakan buruh.

Jika kaum buruh menginginkan kehidupan yang layak, naik upah, mengurangi tempo-kerja, dan menghilangkan ikatan-ikatan yang menindas, menurut Sukarno, mereka harus berjuang dengan ulet dan habis-habisan. Jika ingin mengubah nasib, kaum buruh harus menumpuk-numpukkan tenaganya dalam serikat sekerja, menumpuk-numpukkan machtvorming dalam serikat sekerja, dan membangkitkan kekuasaan politik di dalam perjuangan.

Berbeda setelah Suharto dan Orde Baru berkuasa peringatan Hari Buruh menjadi barang yang haram dilaksanakan, dianggap berbau gerakan ideologi komunis. peringatan Hari Buruh pada 1 Mei benar-benar dihapuskan. Sebelumnya, Soeharto mengubah penamaan Menteri Perburuhan menjadi Menteri Tenaga Kerja. Begitu juga dengan nama Kementerian Perburuhan pada Kabinet Dwikora menjadi Departemen Tenaga Kerja. Menteri yang pertama kali memimpin departemen tersebut adalah Komisaris Besar Awaloedin Djamin.
Perayaan hari buruh diperbolehkan kembali dan dijadikan hari libur nasional, dimasa pemerintahan SBY setelah berbagai serikat buruh pada tahun 2000 melakukan aksi demonstrasi menuntut agar tanggal 1 mei kembali dijadikan Hari Buruh Internasional dan hari libur nasional. Aksi itu disertai mogok kerja besar-besaran di sejumlah wilayah selama sepekan, hingga memantik respon dari para pengusaha.

Akhirnya pada tahun 2013 SBY resmi menandatangani Peraturan Presiden yang menetapkan 1 Mei sebagai hari libur nasional dan Hari Buruh Internasional. dituangkan dalam Peraturan Presiden pada hari senin , 29 Juli 2013, kemudian di setiap tanggal 1 mei buruh yang tergabung dalam serikat – serikat buruh,bebas melakukan aksi turun kejalan untuk menuntut perbaikan kehidupan para pekerja di negeri ini.

Ditulis oleh: Wendy Hartono (Ketua KPW – STN Jawa Barat)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here