KABARRAFFLESIA.com – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyayangkan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual belum bergerak maju hingga 2 hari menjelang berakhirnya masa tugas DPR RI Periode 2014-2019, bahkan pembentukan Tim Khusus untuk Pembahasan RUU yang direncanakan pada tanggal 25 September 2019, dibatalkan secara mendadak. Dengan ini dapat dikatakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual selama hampir 3 tahun mangkrak di Komisi VIII DPR RI.

Komnas Perempuan mengingatkan, Komisi VIII DPR RI sudah ditunjuk oleh Sidang Paripurna DPR RI untuk membahas RUU ini sejak tahun 2017. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan inisiatif DPR dan draft RUU tersebut dirancang dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam hal ini pendamping korban Forum Pengada Layanan (FPL), komunitas korban, kelompok akademisi dan agama, bersama dengan Komnas Perempuan. Hampir 3 tahun RUU belum dibahas, bukan saja menunjukkan buruknya kinerja Komisi VIII Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, tapi juga memperlihatkan rendahnya kepedulian terhadap ribuan korban kekerasan seksual di Indonesia.

Pernyataan Ketua Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan Ketua DPR RI bahwa akan menunda pembahasan RUU P-KS dengan alasan waktu yang tersedia pendek, adalah bentuk pengabaian perlindungan bagi korban kekerasan seksual dan berkontribusi pada impunitas pelaku kekerasan seksual.

Komnas Perempuan menyesalkan anggaran belanja negara yang telah digunakan oleh Panja Komisi VIII RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, untuk melakukan studi banding ke Kanada dan Perancis, namun studi banding tersebut tidak berdampak pada kemajuan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Dalam pandangan Komnas Perempuan anggaran belanja negara untuk studi banding tersebut menjadi sia-sia, yang harusnya bisa digunakan untuk layanan visum gratis bagi korban kekerasan seksual, yang hingga saat ini belum mampu disediakan negara.

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah RUU yang telah cukup lama dinanti oleh korban kekerasan seksual dan keluarganya. Catatan Tahunan Komnas Perempuan memperlihatkan, sejak RUU ini ditetapkan sebagai insiatif DPR (pada tahun 2016) hingga Desember 2018 tercatat sebanyak 16.943 perempuan telah menjadi korban kekerasan seksual.

Data statistik kriminal BPS tahun 2018 juga memperlihatkan rata-rata setiap tahunnya 5.327 kasus kekerasan seksual terjadi di Indonesia. Forum Pengada Layanan (FPL) menemukan, hanya 40% kasus kekerasan seksual yang dilaporkan ke Polisi, dan dari 40% tersebut hanya 10% yang berlanjut ke pengadilan. Terbatasnya pengaturan tentang kekerasan seksual dalam KUHP baik aturan materil maupun formil, menjadi penyebab utama 90% dari kasus kekerasan seksual tidak dapat diteruskan ke pengadilan.

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagaimana Naskah RUU yang dihasilkan Baleg DPR RI mengatur 9 jenis Kekerasan Seksual yang tidak diatur dalam KUHP, memuat hukum acara yang dapat membantu penegak hukum membuktikan kekerasan seksual, melindungi hak-hak korban dan keluarganya serta mengatur pencegahan kekerasan seksual. Penundaan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan semakin menjauhkan korban dari pemenuhan rasa keadilan.

Berdasarkan hal tersebut, maka Komnas Perempuan:

  1. Mendesak Panja Komisi VIII DPR-RI untuk melanjutkan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bersama dengan Panja Pemerintah, setidaknya pembahasan judul, definisi dan sistematika RUU Penghapusan Kekerasan Seksual;
  2. Menghentikan sikap mengulur-ulur waktu pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan memanfaatkan penolakan dari segelintir orang terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual;
  3. Meminta kepada seluruh korban, keluarga korban dan pegiat hak-hak korban kekerasan seksual, untuk terus memantau dan mendokumentasikan kinerja Anggota DPR RI dalam pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini, sebagai catatan sejarah Bangsa dalam perjuangan penghapusan kekerasan seksual di Indonesia.

(rls)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here