KABARRAFFLESIA.com – Yayasan PUPA mengadakan Rapat Koordinasi bersama Dinas Pendidikan Kota Bengkulu, Dinas PPPA PP KB Kota Bengkulu dan 8 sekolah champion (SDN.36, SDN.18, SMPN.1, SMPN.13, SMPN.4, SMPN.22, SMAN.2, SMKS 5 Taruna), Rabu (2/10).

Rakor ini membahas tindak lanjut Mekanisme Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak berbasis Sekolah.

“Ini merupakan rakor ketiga di tahun 2019, sebagai bentuk sinergi dan komitmen lembaga pemerintahan dan lembaga masyarakat dalam mengurangi angka kekerasan di Sekolah,” kata Direktur PUPA, Susi Handayani.

Ia melanjutkan, ada beberapa pokoo bahasan yang didiskusikan dalam Rakor ini. Misalnya, perkembangan program masing-masing lembaga, yang tertuang dalam Nota Kesepahaman Antara DPPPA, Dinas Pendidikan Kota Bengkulu dan Yayasan PUPA yang sudah ditandatangani sejak 24 Mei 2017.

“Adapun hal penting yang dibahas adalah mengenai Penguatan Kelompok Kerja Pencegahan dan Penanganan KtPA di Sekolah,” imbuhnya.

Saa ini, lanjut Susi, ada 8 Champion sekolah yang sudah memilki metode untuk mengurangi angka kekerasan di sekolah.

Sementara itu, Misran Lubis yang merupakan peneliti isu-isu sosial khususnya anak dan perempuan menyampaikan materi mengenai Mainstreaming Hak Anak dalam Pembangunan. Materi ini membahas bagaimana sekolah harus menggunakan perspektif anak untuk menyelesaikan persoalan anak, membahas kebijakan-kebijakan yang berperspektif anak harusnya dipahami sekolah khususnya anggota POKJA, juga mengenai hak-hak anak yang harus dipenuhi, serta tugas dan tanggung jawab lembaga dalam pemenuhan hak-hak tersebut.

“Kalau ada anak yang mau menyampaikan aspirasi itu tidak apa-apa. Tapi kalau menempatkan anak dalam kondisi membahayakan itu tidak boleh. Kita bicaranya berbasis pada hak pendidikan, setiap anak berhak mendapat pendidikan, kemudian dilanjutkan setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Dan harusnya Bengkulu sudah naik tingkat ke, hak pendidikan yang layak,” jelas Misran.

Misran Lubis juga menyampaikan terkait kerentanan perempuan dan anak menjadi korban kekerasan seksual karena budaya masyarakat yang terbiasa menyalahkan korban, bukan melihat relasi kuasa antara korban dan pelaku. Misal, guru dan murid, pimpinan dan bawahan, orang dewasa dan anak, juga termasuk laki-laki dan perempuan.

Maka untuk mengetahui persoalan kekerasan seksual yang semakin tahun bertambah angka dan jenisnya, datanglah ke lembaga layanan, maka kita akan tau bahwa memang benar ada perkosaan dalam rumah tangga.

“Ibu / Bapak pernah tidak didatangi seorang perempuan yang hampir mati karena KDRT? Tidak pernah kan. Karena bapak ibu bukan lembaga layanan jadi bapak ibu bilang tidak ada kasus seperti itu. Kalau mau tahu kasus seperti itu mainlah ke lembaga yang melakukan layanan, mereka banyak mendampingi kasus seperti ini,” ungkapnya.

Di tempat yang sama, Grasia Renata Lingga, Koordinator Yayasan PUPA berharap semakin banyak sekolah yang tergerak untuk membentuk post pengaduan kekerasan di Sekoah. Sehingga kasus-kasus kekerasan khususnya kekerasan seksual mampu tertangani dengan tidak mengurangi hak-hak anak.

“Negara melalui pemerintah kota Bengkulu harus mampu mengimplementasikan peraturan walikota yang sudah disahkan di awal tahun lalu, untuk pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan dan anak,” kata dia.

Kata Grasia, Yayasan PUPA terus secara konsisten menyuarakan hak perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual melalui Pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.

“Kami mengajak teman-teman media untuk terus menawal pengesahan RUU,” tutupnya. (rls)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here