Kisah Khalifah Umar dan Kenyinyiran Zaman Now
BEBERAPA hari lalu, viral dua pemimpin Kota Bengkulu, Walikota Helmi Hasan dan Wakil Walikota Dedy Wahyudi, memikul karung berisi beras, untuk dibagikan kepada warga.
Terus, apa hubungannya dengan Umar bin Khattab?
==========
Sekitar 1.400 tahun lalu, gaya blusukan pemimpin Indonesia zaman now, sudah pernah dilakukan dimasa kekhalifahan Umar bin Khattab.
Satu kisah yang melegenda, ketika khalifah yang ditakuti setan ini (biasanya manusia yang takut setan, hehehe) berjalan bersama Aslam, pengawalnya.
Mereka mendengar tangisan anak, hingga terdengar oleh sang khalifah. Sumber suara dicari, hingga Umar menemukan sebuah gubuk warga miskin.
Di dalam gubuk itu, ada seorang ibu dan beberapa anaknya. Ibu itu tampak sedang memasak batu.
“Kenapa anaknya menangis? Apa yang terjadi?” tanya Umar.
“Anak-anakku belum makan. Sehingga aku terpaksa memasak batu, agar anak aku tahu ibunya sedang memasak. Hingga nanti mereka tidur dalam lapar, karena kelelahan menunggu masakkanku,” jawab si ibu.
“Beginilah nasib orang miskin, tidak diperhatikan pemimpinnya. Sungguh kami disia-siakan Khalifah Umar, dia tidak peduli dengan kami yang miskin ini, dia tak pantas menjadi pemimpin kami,” lanjut sang ibu yang tidak mengetahui jika yang mendatanginya itu adalah Umar bin Khattab.
Sontak Umar tertunduk, hatinya tersayat. Ia merasa terhina karena tidak tahu ada rakyatnya yang sengsara.
“Ibu tunggu di sini,” pinta Umar kepada sang ibu.
Umar lantas berjalan diikuti Aslam, pengawalnya. “Mau ke mana Amirul Mukminin?” tanya Aslam.
“Kita ambil karung berisi gandum untuk ibu ini dan anak-anaknya,” jawab Umar dengan mata berlinang.
Perjalanan yang mereka tempuh, lumayan jaraknya. Gandum itu lalu dipikul di pundak Umar, hingga membuat Aslam terkejut.
“Wahai khalifah, biar aku yang membawa karung gandum itu,” ucap Aslam.
“Apakah kamu mau memikul dosaku ini terhadap rakyatku? Apakah kamu mau menanggung azabnya?” hentak Umar.
Aslam tak mampu membantah. Ia hanya mengiringi Umar untuk kembali ke rumah ibu miskin tadi.
Sampai di rumah sang ibu, Umar lalu memasak Gandum itu dibantu sang ibu.
Setelah masak, Umar meminta si ibu memberikan gandum itu kepada anak-anaknya. Lalu sisa gandum diminta untuk disimpan.
“Sungguh kamu lebih pantas menjadi pemimpin kami dari pada Umar,” kata sang ibu.
“Sudah, makanlah. Jangan biarkan ibu dan anak-anak itu kelaparan,” kata Umar sembari pamit.
Aslam yang melihat kejadian itu, tertegun dan haru. Sosok pemimpin yang disindir oleh rakyatnya, tapi tetap memberi dan mencintai.
Gambaran ini, juga aku lihat tersirat dari dua pemimpin Kota Bengkulu. Helmi dan Dedy.
Di tengah covid-19, mereka bercucuran keringat demi memikul beras dan mie untuk dibagikan kepada warganya.
Pencitraan, caci maki, hingga hinaan sebagai pemimpin, mereka jawab dengan cinta.
“Saya ingin memikulnya sendiri, rakyat lagi susah,” kata Helmi ketika karung beras yang ia bawa mau diangkut oleh anak buahnya.
“Biarlah orang berkata apa, yang penting rakyat bahagia,” ucap Dedy ketika mendapat sindiran dari banyak orang yang tidak suka dengannya.
Ya, siapapun pemimpin, salah satu ujiannya adalah mendapat cercaan dan hinaan.
Konsekuensi itu tidak hanya dialami pemimpin saat ini, tapi sudah sejak lama.
Kembali pada sosok masing-masing. Namun yang bisa aku garis bawahi, dari niat baik kedua pemimpin ini, bakal ada saja yang tidak suka.
Tidak menutup kemungkinan, jika di zaman Umar sudah ada handphone dengan medsos di dalamnya, bakal ada komentar-komentar kenyinyiran. Meskipun yang beliau lakukan sebuah kebaikan. Bakal ada kata-kata, “Ah itu pencitraan, ah itu ada apanya”.
Soo, kenyinyiran zaman now, itu seperti sudah menjadi kodrat manusia. Tentunya kodrat untuk manusia tukang nyinyir.
Salah? Itu kembali ke penilaiannya masing-masing.
Tetaplah berbuat baik, karena sejatinya kebaikan itu tak selalu dinilai sebuah kebaikan, bagi orang-orang yang nyinyir.
Wallahualam
*Penulis : Anak Muda Bengkulu Yang Hobi Menulis