Oleh : Elfahmi Lubis
Dalam beberapa hari ini percakapan di ruang publik dan di lorong-lorang kampus, sedang riuh memperbincangkan soal profesor. Walaupun bagi orang kampus, profesor itu bukan sesuatu yang asing dan biasa saja. Soalnya, bagi seorang dosen atau peneliti kapan saja bisa memperoleh predikat tersebut jika sudah memenuhi persyaratan yang ditentukan regulasi. Bahkan pemandangan biasa saja, jika mahasiswa dan dosen ngopi bareng disudut-sudut kantin kampus sambil ngobrol dengan seorang profesor. Artinya, seorang profesor tidak identik dengan kekakuan dan selalu berpikir nyelimet sebagaimana yang kita persepsi selama ini. Keliru dan salah kaprah juga kalo selama ini mengidentikkan bahwa profesor itu kepalanya selalu botak dan lain sebagainya.
Sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi atau peneliti. Selanjutnya, yang sering salah kaprah di masyarakat selama ini sering menganggap bahwa profesor itu gelar akademik, padahal profesor itu bukan gelar akademik tapi jabatan fungsional/akademik tertinggi yang diraih oleh seorang dosen.
Jenjang jabatan akademik itu sendiri tingkatannya adalah Asisten Ahli (AA), Lektor (L), Lektor Kepala (LK) dan Guru Besar (Profesor). Untuk mendapatkan jenjang jabatan fungsional di atas, seorang dosen harus memenuhi syarat angka kredit (KUM) dalam bentuk melaksanakan tugas Tridarma PT (pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat). Sementara itu gelar akademik tertinggi itu hanya sampai doktor, yaitu gelar yang diberikan kepada seseorang yang telah menyelesaikan studi S3.
Gelar akademik berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku diberikan kepada lulusan Program Sarjana (S1) sederajat, lulusan program magister (S2) sederajat, dan lulusan program doktor (S3) sederajat. Selain itu PT juga menyelenggarakan program pendidikan non gelar, seperti diploma. Dengan demikian pemberian gelar akademik itu hanya diberikan kepada Perguruan Tinggi (universitas, institut, sekolah tinggi, dan politeknik) yang menurut ketentuan perundang-undangan diberikan kewenangan dan hak untuk itu. Yakni, PT yang memiliki izin resmi dari Kemendikbud dan atau kementerian lain, terakreditasi, serta syarat lain yang harus dipenuhi sebagai penyelenggara pendidikan tinggi.
Apakah Ada Gelar Akademik Kehormatan ?
Beberapa waktu lalu Koran Tempo, pernah menurunkan diberita utamanya soal “Obral Gelar Doktor Honoris Causa” . Dalam tulisannya tempo menangkap ada fenomena tidak lazim dalam memberikan Doktor Honaris Causa kepada seseorang, sehingga terkesan diobral dan komersial. Lalu apakah dibenarkan memberikan gelar Doktor kehormatan ?
Berdasarkan ketentuan Pasal 22 UU Nomor: 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa universitas, institut, dan sekolah tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada setiap individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni. Selanjutnya, di Pasal 23 berbunyi pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari ketentuan tersebut hanya PT yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor honoris causa. Jadi kalo ada PT yang tidak memiliki program doktor, tapi memberikan gelar doktor honoris causa jelas melanggar ketentuan regulasi yang berlaku dan wajib ditertibkan.
Artinya dalam konteks regulasi PT dibenar atau dibolehkan memberikan gelar akademik doktor kehormatan sepanjang kepada seseorang yang benar-benar memiliki jasa besar dalam bidang IPTEK, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan atau seni. Untuk itu agar pemberian gelar doktor kehormatan ini tidak terkesan “diobral” atau “komersial”, maka kedepan pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, perlu membuat aturan dalam bentuk PP atau Peraturan Menteri yang mengatur soal tata cata dan syarat tentang pemberian gelar doktor kehormatan. Soalnya regulasi yang ada sekarang dirasakan belum memadai memberikan kepastian hukum terkait pengaturan pemberian gelar doktor kehormatan.
Lalu bagaimana dengan pengangkatan seorang dalam jabatan guru besar (profesor) ?
Dalam Perturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 40 Tahun 2012 tentang Pengangkatan Profesor/Guru Besar, Pasal 1 berbunyi : Ayat (1) Seseorang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa dapat diangkat sebagai dosen tidak tetap dalam jabatan akademik tertentu pada perguruan tinggi, dan ayat (2) pengangkatan seseorang sebagai dosen tidak tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh perguruan tinggi masing-masing setelah mendapat persetujuan Senat. Pasal 2 berbunyi : menteri dapat menetapkan seseorang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa untuk diangkat sebagai profesor/guru besar tidak tetap pada perguruan tinggi berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.
Merujuk pada ketentuan ini, maka dibenarkan PT untuk mengangkat seseorang yang telah memiliki keahlian dan prestasi luar biasa dalam jabatan akademik tertentu, misalnya dalam jabatan akademik profesor. Tapi sebelum diangkat sebagai profesor, maka harus didahului dengan pengangkatannya sebagai Dosen Tidak Tetap terlebih dahulu. Soalnya, jabatan akademik profesor hanya bisa diberikan kepada dosen atau peneliti. Selanjutnya, ditetapkan oleh menteri dengan pertimbangan Dirjen Dikti.
Dalam tulisan saya sengaja tidak ditujukan pada orang dan peristiwa tertentu, tapi semata-mata melihatnya dalam kerangka regulasi yang ada. Maksudnya, sepanjang pemberian gelar dan jabatan akademik tertentu itu sesuai aturan, silakan saja. Tapi sebaliknya, jika pemberian gelar dan jabatan akademik melanggar aturan, maka menjadi tugas utama kita untuk mengkritisinya.
Terkait wacana pro dan kontra soal pemberian jabatan akademik “profesor”, saya berusaha tidak terjebak wacana politis. Hal itu saya lakukan untuk menghindari agar tidak terperangkap dalam gimmick.