Oleh: Agustam Rachman*
Rabu, 18 Agustus 1998, tepat pukul 10.00 pagi sekelompok mahasiswa Universitas Bengkulu melakukan demo pembakaran bendera Amerika di depan gedung I, saat ada acara wisuda di kampus Universitas Bengkulu.
Seperti tampak dalam foto demo itu, dari kiri ke kanan: Septa Camai, Wendra, Usin, Eli Virgonita, Dewi Darimi, Anton, Hadi Hartono, Rahmat Kartolo, Piqi Omsi, Mardansyah, Elli Herlina, Oktien, Agustam, Halid.
Dulu saya pernah menyimpan foto ini di HP. Tapi entah apa penyebabnya foto itu hilang, sudah dua hari ini saya mencari foto ini, bahkan HP istri saya tak luput dari ‘pemeriksaan’ karena biasanya dokumen yang saya anggap penting saya kirim ke dia, sebagai back up arsip tapi hasilnya nihil.
Saya sangat yakin dulu Halid yang mengirim foto itu ke saya, ketika saya tanyakan, dia sarankan untuk check di FB-nya.
Saya termasuk makhluk yang sangat jarang buka FB, terpaksa harus mengingat-ingat lagi password FB saya dan setelah lebih dua jam mempelototi semua foto diakun facebook milik Halid Saifullah syukurlah foto itu berhasil ditemukan.
Demo ini sebagai protes pengeboman atas Sudan dan Afghanistan oleh Amerika yang menyebabkan banyak korban sipil tewas. Terutama perempuan dan anak-anak.
Ini untuk pertama kalinya mahasiswa Bengkulu melakukan demo yang merespon peristiwa dunia Internasional khususnya dunia Islam.
Demo itu sengaja dilakukan bertepatan dengan momentum acara wisuda, dengan begitu setidaknya ribuan wisudawan dan keluarganya yang hadir hari itu tahu isu yang disuarakan mahasiswa.
Walaupun sempat ada insiden kecil, waktu itu ketika demo hampir berakhir, tiba-tiba PR III waktu itu Dr. Johan Setiyanto memerintahkan demo dihentikan karena katanya tanpa ijin pihak kampus. Kami iyakan saja permintaannya toh memang demo akan segera ditutup karena pernyataan sikap mahasiswa telah dibacakan.
Jika kami ngotot maka tentu kami yang rugi, sebab andai terjadi ketegangan dengan pihak kampus maka esoknya pasti yang muncul di media massa bukan berita pembakaran bendera Amerika tapi beritanya akan jadi buruk yaitu keributan mahasiswa dengan pihak kampus.
Kalau misal demo itu dituduh mengganggu prosesi wisuda juga tidak tepat. Terbukti sangat banyak mahasiswa yang wisuda dengan riang gembira menjadikan spanduk demo sebagai background foto kenang-kenangannya.
Melalui demo itu mahasiswa ingin memberikan pesan kepada publik khususnya pemerintah RI supaya melakukan upaya diplomasi guna mencegah jatuhnya korban lebih besar lagi di pihak rakyat Sudan dan Afghanistan.
Selama bulan Agustus 2021 ini hampir semua media memberitakan kemenangan Taliban di Afghanistan setelah Amerika minggat dari negara itu karena kalah melawan Taliban setelah melalui perang panjang selama 20 tahun.
Jika dihitung sejak Agustus 1998 sampai Agustus 2021 ini maka tragedi kemanusiaan di Afghanistan sudah berlangsung selama 23 tahun.
Bercerita soal demo ini sebenarnya dilakukan tanpa banyak rapat, beberapa teman dengan modal kain putih dan cat membuat bendera Amerika di pondokan Nobel tempat saya kost waktu itu.
Lumayan melelahkan membuatnya, apalagi dibuat dengan cara manual. Saya katakan ke teman-teman supaya jangan terlalu bagus membuatnya. Toh nanti bendera itu akan dibakar juga.
Cerita soal rencana bakar-membakar bendera ini idenya muncul spontan. Karena peristiwa pengeboman di Sudan dan Afganistan itu butuh respon cepat maka dipilihlah aksi bakar bendera supaya lebih praktis dan pasti akan menarik perhatian.
Soal demo disertai bakar-bakaran ini ada juga pengaruh almarhum Mas Pandu Imam dosen FP UNIB, seseorang yang kami anggap sebagai ideolog gerakan mahasiswa di Bengkulu yang rutin kami kunjungi.
Waktu itu mas Pandu Imam mengatakan memang boleh saja melakukan pembakaran dan perusakan atas properti jika properti itu berpotensi akan dipakai oleh penguasa untuk kezaliman.
Mas Pandu merujuk pada riwayat nabi Musa dan Nabi Khidir melubangi kapal supaya kapal itu tenggelam karena jika tidak ditenggelamkan maka kapal itu akan dipakai untuk kezaliman oleh penguasa yang jahat.
Sampai sekarang masih sering terdengar bahwa kelompok kami waktu itu sebagai kelompok ‘Kiri’ atau ‘Merah’. Tentu ini tidak penting untuk diperdebatkan atau dibantah. Jika benar bahwa kelompok kami waktu itu adalah kelompok kiri maka lebih tepat disebut ‘Kiri Relijius’ sebab ideolog kami adalah Mas Pandu Imam seorang aktifis kanan garis keras saat kuliah di Yogjakarta dikenal sebagai aktifis Masjid Soedirman.
Dan yang terakhir, untung Kedutaan Amerika adanya di Jakarta, kalau Kedutaan itu ada di Bengkulu mungkin bukan hanya bendera Amerika yang kami bakar.
*Penulis adalah Advokat, Aktifis 98