Dalam suasana memperingati Hari Kelahiran Pancasila tahun ini, bangunan kebangsaan kita sedikit retak. Retakan-retakan itu, jika tidak segera diantisipasi, bisa membuat bangsa ini hancur berkeping-keping.

Ada dua retakan yang sangat tampak nyata.

Pertama, melebarnya ketimpangan sosial. Sekarang ini, menurut laporan Infid dan Oxfam, peringkat ketimpangan di Indonesia berada di posisi enam terburuk di dunia.

Masih menurut laporan itu, kekayaan 4 orang terkaya Indonesia sama dengan gabungan kekayaan 40 persen atau 100 juta penduduk termiskin Indonesia.

Kemudian, sebanyak 49 persen dari total kekayaan Indonesia dikuasai hanya oleh 1 persen warga terkaya—termasuk 4 orang terkaya tadi. Sementara 51 persen sisanya diperebutkan oleh 99 persen penduduk.

Laporan di atas telah membongkar omong-kosong para pengagum neoliberal tentang kekayaan yang menetes (trickle down effect). Juga mematahkan janji-janji surga mereka bahwa membanjirnya investasi akan mengangkat rakyat jelata dunia ketiga dari lembah kemiskinan dan pengangguran.

Faktanya, jika kita melihat tarikh, ada kelindan antara grafik menaik rasio gini Indonesia dengan periode makin massifnya penerapan agenda neoliberal. Dalam 15 tahun, rasio gini Indonesia meningkat tajam dari 0,30 (2000) menjadi 0,42 (2015).

Nah, apa yang lebih berbahaya dari persoalan ketimpangan pemilikan ini adalah ketimpangan pemilikan aset.

Pemilikan aset merupakan basis bagi setiap orang untuk memastikan kehidupannya di masa depan. Tanpa pemilikan aset, masa depan akan diselimuti awan gelap-gulita.

Faktanya, Bank Dunia mencatat hanya 10 persen orang kaya menguasai sekitar 77 persen dari seluruh kekayaan aset dan keuangan di negara ini. Kalau dipersempit lagi, 1 persen orang terkaya di Indonesia menghimpun separuh total aset negara ini.

Mari mengintip data lama BPN, sekitar 56 persen aset nasional hanya dikuasai oleh dua persen penduduk. Dan sebanyak 87 persen dari 56 persen aset nasional itu berupa tanah.

Padahal, bagi mayoritas manusia Indonesia, tanah adalah aset terpenting. Tanah bukan hanya penjamin eksistensi ekonomis, tetapi juga kultural dan sosial.

Masalahnya, seiring dengan massifnya agenda neoliberalisme, privatisasi dan komoditifikasi tanah untuk kepentingan bisnis juga sangat massif. Inilah yang memicu konflik agraria sangat massif di seantero tanah air.

Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang tahun 2016 terjadi 450 konflik agraria yang melibatkan 86.745 KK. Jumlah itu naik dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya yang berjumlah 252 konflik.

Konflik agraria bukan hanya soal perebutan tanah, tetapi sebetulnya perebutan ruang hidup. Mereka yang menjadi korban konflik agraria bukan hanya kehilangan tanah, tetapi juga rumah, penghidupan, dan kehidupan sosial.

Bagaimana dengan pemilikan aset yang berbentuk finansial?

Merujuk ke data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada 2015, jumlah penduduk Indonesia yang punya rekening di bank hanya berkisar 60 juta orang. Hanya seperempat dari total penduduk Indonesia yang berkisar 250 juta orang. Itupun belum menghitung penduduk yang memiliki rekening lebih dari satu.

Singkat cerita, mayoritas rakyat Indonesia tidak punya kepemilikan aset. Walhasil, mereka melihat masa depan dengan agak cemas.

Ditambah lagi, bangsa ini belum bebas-merdeka dari sistim yang membunuh masa depan, yaitu neoliberalisme. Berbagai kebijakan yang diciptakan oleh model Negara Kesejahteraan dan Sosial-Demokrasi untuk memastikan masa depan, seperti subsisi sosial, jaminan hak dasar, dana pensiun, dan lain-lain, dibongkar habis oleh agenda-agenda neoliberal atas nama penghematan dan disiplin anggaran.

Masalahnya, ketimpangan tidak hanya menampakkan wajah ketidakadilan ekonomi dan sosial. Tidak hanya memunggungi Pancasila dan cita-cita masyarakat adil dan makmur.Tetapi juga menjadi tempat berkelindannya berbagai pemicu ketegangan sosial, seperti alienasi, segregasi, eksklusi dan diskriminasi.

Ketidakpuasan akan situasi sosial, ditambah lagi dengan kecemasan akan masa depan, merupakan lahan subur bagi berbagai propaganda yang menawarkan jalan ekstrim, baik ekstrim kiri maupun ekstrem kanan.

Kedua, keretakan yang didorong oleh pasang naik ‘politik identitas’ (identity politics) yang mengukuhkan perbedaan etnik, ras, agama, bahasa, dan bangsa.

Pasang naik politik identitas merupakan fenomena global. Populisme kanan yang tengah bangkit, baik di AS maupun Eropa, juga menggunakan senjata politik identitas ini.

Masalahnya, penggunaan politik identitas ini telah mereifikasi penyakit-penyakit lama, seperti xenophobia, primordialisme, separatisme dan lain-lain.

Di negara kita, pasang politik identitas, terutama di Pilgub DKI Jakarta, telah merosotkan bangsa ini ke alam pra-Sumpah Pemuda 1928, yakni primordialisme dan sektarianisme.

Ditambah lagi, pemilu 2014 masih mewariskan polarisasi politik akut antara pendukung Jokowi-JK dan pendukung Prabowo-Hatta Radjasa. Ironisnya, polarisasi itu tidak berbasis perbedaan program politik, melainkan soal benci (haters) dan suka/pemuja (lovers). Akibatnya, politik kita hanya diwarnai pertikaian keras tak berujung antara haters dan lovers.

Namun siapa bisa menyangka, situasi itu benar-benar dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang mengusung agenda ingin mengganti NKRI dengan yang lain (khilafah). Mereka menumpang di kubu yang kecewa dengan pemerintahan sekarang.

Kelompok yang kecewa dengan pemerintah ini sebetulnya punya kepentingan yang beragam. Pertama, Prabowo-SBY yang mewakili kekecewaan politik pasca pemilu 2014. Kedua, ada PKS dan HTI yang mengusung agenda khilafah. Ketiga, ada Yusuf Kalla yang mewakili kepentingan bisnis pribadinya dan kapitalis domestik. Dan keempat, kelompok militer konservatif yang kecewa dengan kedekatan pemerintahan Jokowi dengan Tiongkok dan langkah Jokowi membuka kembali kasus 1965.

Liciknya lagi, supaya meraih dukungan luas, mereka berusaha menunggangi ketidakpuasan sebagian rakyat atas keadaan sekarang, terutama soal ketimpangan dan dominasi asing, dengan hasutan politik identitas.

Pilkada Jakarta jadi panggung mereka. Sedangkan ucapan Ahok, yang mengeritik manipulasi ayat untuk tujuan politik, menjadi momentum mereka untuk menciptakan—meminjam istilah Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe—“ rantai kesamaan” (Chain of equivalence) dan “musuh bersama” (common enemy).

Kenapa Ahok?

Ahok mewakili identitas Non-Muslim dan Tionghoa. Tionghoa dianggap etnis yang diuntungkan oleh ekonomi sekarang. Ahok menjadi musuh bersama (common enemy). Mereka berhasil menjadikan identitas “Islam” dan “Pribumi” sebagai rantai kesamaan.

Memanggil Pancasila

Pancasila seringkali dipanggil sebagai alat pemersatu, sekedar untuk merawat kebhinekaan.

Seperti di zaman Orde Baru, Pancasila dijadikan ideologi penjaga stabilitas. Siapapun yang mengancam stabilitas zaman itu, maka mereka dicap “anti-Pancasila”. Ini yang menimbulkan efek traumatik terhadap sebagian warga negara.

Tetapi mereka lupa, bahwa tujuan kita bukan sekedar bernegara, bukan sekedar mendirikan sebuah rumah bersama yang menaungi manusia yang bhineka.

Tujuan tertinggi kita adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

Karena itu, dalam pidato 1 Juni 1945, Sukarno tidak hanya bicara kebangsaan dan persatuan, tetapi juga kesejahteraan sosial (sociale rechtvaardigheid).

Memenangkan Pancasila berarti memastikan nilai-nilai Pancasila terjabarkan dalam berbagai kebijakan ekonomi, politik, dan sosial-budaya Negara.

Tantangan memenangkan Pancasila hari ini adalah pembumian. Dan itu, tentu saja, tidak cukup hanya dengan sosialisasi dan indoktrinasi, tetapi soal internalisasi nilai-nilai dan penerapan Pancasila dalam kehidupan. Dan tentu saja, itu harus dimulai dari para penyelenggara Negara.

Selain itu, memenangkan Pancasila hari ini tidak sekedar untuk menjawab persoalan rakyat Indonesia, tetapi sekaligus untuk menjawab persoalan dunia.

Kita tahu, dunia saat ini sedang dirundung kegagalan kapitalisme. Sebelumnya, sosialisme ala abad 20 menuai kegagalan juga. Sosialisme Arab juga runtuh satu per satu.

Saya kira, Pancasila sangat relevan dan kontekstual untuk disodorkan sebagai solusi atas kegagalan kapitalisme. Pancasila adalah sumbangsih pikiran manusia Indonesia untuk dunia yang lebih beradab dan berkeadilan.

Bagaimana Memenangkan Pancasila?

Bagi saya, dan tentu saja juga PRD, seruan persatuan nasional tidak akan bergema, apalagi menyentuh rakyat seluas-luasnya, jika tidak dibarengi dengan iktikad memerangi ketimpangan dan ketidakadilan sosial.

Nah, soal mengatasi ketimpangan, pemerintah bukannya tidak peka dan tidak bertindak. Disamping pembangunan infrastruktur besar-besaran, Presiden Joko Widodo juga bicara reforma agraria. Juga maksimalisasi pajak dan program sosial (KIS, KIP, dan PKH/KKS,).

Namun, program-program itu belum keluar dari kunkungan paradigma neoliberal. Karena itu, perlu mendorong program itu agar lebih maju dan radikal.

Pertama, mendorong reforma agraria yang radikal. Perlu disampaikan kepada pemerintah, bahwa disamping niat baik untuk reforma agraria itu, perlu langkah konkret untuk menuntaskan seluruh konflik agraria yang melilit petani.

Selain itu, perlu mendorong program TORA dan Perhutanan Sosial itu agar keluar dari paradigma neoliberal. Perlu untuk memperluas cakupan objek dan sasaran penerima program-program itu. Untuk TORA, misalnya, perlu ditambahkan dengan tanah yang kepemilikannya melewati batas maksimum menurut UU, tanah terlantar, dan tanah absentee.

Kedua, pajak progressif yang berorientasi keadilan sosial. Sistim perpajakan kita saat ini masih belum berkeadilan. Di satu sisi, bisnis besar sering mendapat keringanan pajak, seperti tax holiday dan tax allowance. Di sisi lain, usaha kecil terus diburu untuk membayar pajak (PP nomor 46/2013).

Si kaya yang punya bisnis besar, karena relasi bisnis dan politiknya yang kuat, bisa menyembunyikan aset dan uangnya di luar negeri, guna menghindari kewajiban membayar pajak (tax evasion). Sementara si miskin terus dikejar untuk membayar pajak, baik pajak penghasilan, PBB, maupun PPN.

Padahal, pajak merupakan instrumen untuk mendorong redistribusi kekayaan dan pendapatan.

Untuk itu, sistim perpajakan kita perlu dirombak. Sudah saatnya Indonesia mengadopsi pajak progressif yang konsisten. Buruh dan pekerja informal yang berpendapatan di bawah upah minimum perlu dibebaskan dari kewajiban pajak. Bentuk konkretnya, penghasilan di bawah Rp 50 juta per tahun tidak dikenai pajak; penghasilan Rp 50 juta-100 juta dikenai pajak 5%; 100-250 juta dikenai 15%; 250-500 juta dikenai 30%; 500 juta- 1 milyar dikenai 30% + 20%; penghasilan di atas 1 milyar dikenai 30% + 25%.

Ketiga, mempercepat pembangunan manusia: kesehatan, pendidikan, dan hak dasar. Program pemerintah macam KIS, KIP, PKH/KKS perlu ditarik keluar dari paradigma neoliberal. Caranya, selain mendorong penambahan anggaran dan memperbaiki kriteria penerima, perlu keberanian untuk menghentikan agenda privatisasi layanan pendidikan dan kesehatan.

Keempat, perlu untuk mendorong Presiden Joko Widodo dan koalisi politiknya di parlemen untuk mencabut semua UU yang telah membentangkan jalan bagi agenda neoliberal di Indonesia. Sebab, apa guna bicara ekonomi berdikari, jika kerangka formal kebijakannya masih neoliberal.

Persatuan nasional

Sekarang, tidak bisa dipungkiri lagi, bila mau menyelamatkan bangsa ini dari politik identitas yang memecah-belah, bila mau memenangkan Pancasila dari musuh-musuhnya, solusinya adalah persatuan nasional.

Tetapi, agar seruan persatuan itu tidak seperti berteriak di tengah padang pasir, perlu diperjelas pijakan yang mempersatukan kita. Saya kira, pijakan kita adalah mempertahankan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Prinisp persatuan pertama: mari saling merangkul dengan semua kita, bangsa Indonesia, yang masih bertekad mempertahkan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Karena itu, segala yang memecah kita, termasuk polarisasi politik warisan Pilpres 2014 dan Pilgub DKI Jakarta 2017, harus segera ditinggalkan.

Namun, seringkali ada yang mendaku setia pada RI dan Pancasila, tetapi tetap bermain api dengan politik SARA. Untuk mereka kita tegasi, “kalau mengaku Indonesia dan Pancasila, buang jauh-jauh politik SARA itu.”

Lalu, bagaimana dengan aspirasi keagamaan?

Pancasila tidak menegasi aspirasi keagamaan. Dalam pidato 1 Juni 1945, Bung Karno menjelaskan ruang bagi aspirasi keagamaan, yaitu “jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.” Artinya, siapapun berhak menyalurkan aspirasi keagamaannya, asalkan melalui jalan demokrasi.

Karena itu, kita menolak aspirasi keagamaan yang didorong melalui pemaksaan kehendak dan jalan kekerasan/terorisme. Kita menolak aspirasi keagamaan yang menolak menggunakan jalur dan cara-cara demokrasi.

Negara juga harus konsisten merawat demokrasi. Sebab, hanya demokrasi yang memungkinkan semua anggota bangsa bisa menyumbang gagasan untuk Indonesia yang lebih baik. Hanya dengan begitulah Indonesia sebagai “proyek bersama” bisa diterima oleh semua anggota bangsa secara sukarela.

Inilah pijakan persatuan yang kedua: mari menjaga demokrasi. Tinggalkan dan buang jauh-jauh kekuatan yang menolak dan tidak percaya pada demokrasi.

Tentu saja, soal demokrasi ini ada catatan. Bahwa demokrasi yang dimaksud Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945 bukanlah demokrasi liberal seperti sekarang ini, melainkan demokrasi yang mengawinkan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi alias sosio-demokrasi.

Selanjutnya, saya kira kita perlu mempertahankan nasionalisme progressif atau nasionalisme kewargaan (civic nationalism) warisan pendiri bangsa yang menempatkan seluruh anggota bangsa tanpa memandang agama, ras dan suku sebagai komunitas/warga negara yang setara.

Karena itu, selain menolak berbagai ide negara agama, nasionalisme etnik, dan separatisme, kita juga harus menolak berbagai praktek diskriminasi terhadap anggota bangsa, pelanggaran hak azasi manusia, dan sistim ekonomi yang melanggengkan ketimpangan. Sebab, semua hal itu bertentangan dengan prinsip kesetaraan warga negara.

Rudi Hartono, Wakil Sekretaris Jenderal Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD)

[Sumber: Berdikari Online]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here