Oleh : Unsar*

Kesenian di Indonesia tidak bisa terlepas dari garis idiologi dan garis politik baik secara organisasi maupun personal. Namun semenjak orde baru kesenian dijauhkan dengan kerja kerja politik untuk mengibarkan panji panji idiologi sebagai alat pencerahan dan pengetahuan di massa rakyat.

Orde Baru dibangun dengan semangat reaksioner dan pembantaian pendukung
pendukung kiri membuat kesenian berbasis organisasi kiri hancur total. Perdebatan idiologis seni dan budaya baik kiri maupun kanan di era orde lama rontok oleh represif militer baik secara struktur maupun infrastruktur, tidak ada pemenang. Dibawah mocong senjata lahirlah budaya baru berbasis militer seperti upacara bendera dan baris berbaris.

Kehidupan seni dan juga kebudayaan di bawah orde baru semakin terpuruk tak jelas arah dan tujuan baik secara idiologi maupun politik ketika seni di tempatkan dibawah kepentingan kapital. Mereka harus bergandengan tangan dengan kapital yang wujudnya dapat dilihat dengan jelas dalam pengabdian seni untuk pariwisata serta merebaknya kesenian populer jika ingin bertahan hidup. Kesenian menjadi tidak serius baik karya karya yang dihasilkan maupun pertunjukan perunjukan yang dibawakan di pangung panggung dan tak lagi menjadi daya tarik bagi rakyat untuk mengekspresikan karya karyanya selain menjadi corong pemerintahan orde baru.

Seni Perlawanan
Sejarah banyak mencatat ada masa saat orang terpaksa berhadapan dengan sistem yang menindas dan seniman ikut terpanggil menentangnya seperti Pablo Neruda, penyair Chile, harus berhadapan dengan pemerintah militer Augusto Pinochet. Nikolai Vaptsarov, pemimpin rakyat Bulgaria menentang fasisme, adalah penyair yang sangat terkenal di negerinya. Jose Rizal, pahlawan rakyat Filipina, yang dieksekusi penjajah Spanyol, seorang sastrawan besar. Dan juga ada Fransisco Borja da Costa, penyair Timor Lorosae, yang mati ditembak tentara Indonesia, sajak-sajaknya telah menjadi lagu rakyat Timor Leste.

Di masa orde baru rezim yang begitu brutal dan sewenang wenang orang tak bisa sendirian menentang penguasa bila tidak ingin bernasib sama seperti aktivis buruh,
Marsinah dan Udin seorang Jurnalis dari Bantul. Namun kesewenang-wenangan itu harus dilawan dan mereka merasa perlu bersatu dalam perjuangan yang terorganisir.

Dengan kesadaran itulah maka Wiji Thukul dan kawan-kawan membentuk organisasi perlawanan dengan basis seniman yang mempunyai semangat yang sama untuk menghadapi kekejian rezim orde baru yang kapitalistik, feodal dan militeristik.

Sajak sajak Wiji Thukul tak hanya bernada perlawanan, tapi juga mengajak orang untuk bersatu melawan, mulai dari melawan pemilik pabrik sampai pemerintahahan orde baru. Wiji Thukul menyuarakan rasa ketertindasan rakyat kecil di masa itu, yang dirinya pun menjadi bagian dari mereka yang tertindas. Maka dengan tegas Wiji Thukul memposisikan dirinya berada di pihak rakyat dan menyebut sajak-sajaknya sebagai sajak perlawanan.

Seni bagi Wiji Thukul adalah seni yang terlibat, menyatu dalam dinamika masyarakatnya, bukan kumpulan imajinasi belaka. Wiji Thukul tak hanya menyuarakan kesengsaraan mereka, tapi juga membangkitkan semangat untuk
melawan ketidakadilan itu. Sajak-sajaknya bukan semata-mata hujatan pada kekuasaan, tapi juga jalan keluar bagi orang yang ditindas, jalan yang tak disukai penguasa yaitu jalan melawan. Samuel Tylor Coloridge (1772-1834), sastrawan di masa romantik telah menyebut sajak sejenis karangan yang berlawanan dengan karya sains, bersifat memberi kesenangan langsung. Padahal, sajak-sajak Thukul lebih menimbulkan rasa gelisah ketimbang kesenangan

Ada tiga sajak Wiji Thukul yang fenomenal dan menjadi sajak wajib dalam aksi-aksi massa, yaitu Peringatan, Sajak Suara, serta Bunga dan Tembok. ketiganya ada dalam
antologi Mencari Tanah Lapang yang diterbitkan oleh Manus Amici, Belanda, pada tahun1994. Sajak-sajak Thukul berisi protes sosial, yang dalam hal ini berbenturan langsung dengan para penguasa orde baru.

Pada Mei 1998 di tengah aksi massa yang menuntut pemerintahan transisi meledak kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jakarta serta kota-kota lainnya. Banyak toko dibakar dan dijarah yang memaksa Suharto sebagai motor orde baru jatuh. Pada masa inilah ada yang menyebutkan Wiji Thukul dihilangkan aparat. Ia dilenyapkan sebagai konsekuensi atas karya-karyanya dan aktivitas politiknya, yang menjadikan seni sebagai cara untuk melawan orde baru, dan Wiji Thukul dinyatakan hilang dari tengah massa yang dibela.

Paska tumbangnya Suharto muncul penyair kerakyatan yang segaris dengan seni perlawanan nya Wiji Thukul dan terus menerus menyuarakan bentuk bentuk ketidakadilan serta penindasan yang terjadi. Winarso seniman asal Solo mengisi kekosongan ruang seni perlawanan dengan sajaknya yang indah dan meliuk liuk dengan tata bahasa lebih dramatis, di banding Wiji Thukul yang lebih frontal dan menusuk ke jantung kekuasaan, karya Winarso yang paling fenomenal adalah Pesan Sang Ibu, Sajak Bintang Merah, Kabar Untuk Anak dan Sajak Tanpa Kata yang diluncurkan di album Sanggar Satu Bumi Volume I. Jalan Senyap Penyair Kerakyatan Duapuluh tahun tumbangnya orde baru ternyata kondisi rakyat belum beranjak pada persoalan ketimpangan sosial ekonomi dan problem demokrasi sebagai proses menuju tatanan yang lebih adil dan beradab. Demokrasi telah di sandera oleh sekelompok elit politik dan oligarki ekonomi sisa sisa orde baru. Nyaris tidak ada perubahan sama
sekali selain hutang yang membengkak, korupsi yang menggurita dari tingkat aparatur tertinggi sampai tingkat desa.

Demokrasi Liberal hanya melahirkan politisi yang brutal, korup bahkan intoleran terhadap kebhinekaan kita. Mahalnya biaya untuk mengikuti proses demokrasi lewat pemilihan umum justru melahirkan budaya transaksional yang semakin menjerumuskan rakyat pada budaya instan. Rakyat disuguhi akrobatik kepalsuan dimana mana.

Musuh bersama kita ialah Imperialisme yang menguasai dan menjarah aset sumberdaya alam kita secara masif, Namun rezim demi rezim di era reformasi tidak berdaya untuk mengembalikan kedaulatan ekonomi maupun politik, tapi justru terjebak etatisme. Sistem etatisme, di mana negara beserta aparatur ekonomi negara bersifat dominan serta mendesak dan mematikan potensi dan daya kreasi unit-unit ekonomi di luar sektor negara.

Berangkat dari rumitnya sistem demokrasi ekonomi dan politik kita, para penyair kerakyatan tidak menyerah begitu saja untuk tetap menyuarakan kaum yang
terpinggirkan. Lewat divisi penerbitan bukunya, Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKER) menerbitkan beberapa buku tentang puisi puisi perlawanan seperti Kota Ini Ada Di Tubuhmu (Antun Joko Susmana, 2008) , Negeriku (Agus Jabo Priyono, 2009), Burung Burung Bersayap Air (Dewi Nova, 2010). Kawan Dan Berlawan (Dominggus Oktavianus, 2010), Akulah Perempuan (Unsar dan STB Jakarta, 2017) , Empatpuluh Lima (Roso Suroso, 2018).

Untuk menegaskan bahwa puisi perlawanan masih hidup maka Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat pada awal Juni 2018 menerbitkan Antologi Puisi 14 Penyair dari 13 kota yang tersebar di Indonesia dengan judul Resolusi Penyair, Buku ini menegaskan bahwa jejak jejak puisi perlawanan masih terus berkobar dan menyala di tengah tengah massa. Walau gaung gemuruhnya belum menggema seperti karya-karya Wiji Thukul dan Winarso namun yang perlu digaris bawahi adalah keberanian para penyair kerakyatan memilih jalan senyap, jalan puisi perlawanan.

*Untung Sarwono
(aktif di Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here