KABARRAFFLESIA.com – Serikat Pekerja Pers (SPS) mencatat, hingga 2018 sudah ada 16 media lokal di Sumatra Utara yang harus kalah dan memilih jalan tutup karena tidak bisa beradaptasi dengan arus digitalisasi.
Ketua SPS Sumut, Farianda Putra Sinik mengatakan, segmentasi pembaca media cetak terus mengalami penurunan yang drastis, karena beralih ke media baru berbasis online dan munculnya media sosial. Namun, belakangan ia melihat peluang baru.
“Awalnya kami pesimis dengan medsos yang tumbuh subur, tapi kehadiran tersebut justru seperti peluang bagi kami karena banyaknya hoaks diciptakan lewat medsos, kami berfikir untuk menerbitkan berita dengan sumber terpercaya. Kami juga akan memperbaiki diri,” katanya saat mengisi seminar yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan bersama dengan UMA, Kamis (14/3) di Medan.
Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetya yang ikut menjadi pembicara mengatakan, walau media mengalami perubahan, tapi jurnalisme akan terus abadi.
“Pers Indonesia, apapun jenis dan platformnya harusnya adalah bagian dari idealisme wartawan Indonesia dan perjuangan membentuk dan menjaga nation-state Indonesia,” jelas Stanley, panggilan akrabnya.
Ia juga mengingatkan pers sebagai alat verifikasi dan penjernih, harapannya tidak terbawa oleh arus perubahan yang ada dengan bergantung ke media sosial sebagai rujukan ketika membuat berita.
“Mayoritas jurnalis saat ini ternyata memilih jalan paling mudah untuk menulis, menemukan ide berita, sekaligus memverifikasi sebuah fakta hanya dengan mengandalkan sumber media sosial. Pers itu jadi alat verifikasi dan penjernih yang kacau di media sosial,” tegasnya.
Tugas pers saat ini, lanjut Stanley, adalah mengubah diri secara total dari yang semula mengarahkan corong microphone dan lensa kamera kepada elit politik dan hingar binger isu yang Jakarta sentries, menjadi meliput tentang potensi ekonomi, keunggulan potensi wisata sebuah daerah, kelezatan kuliber di sebuah daerah dan lain-lain.
“Jika hal ini dilakukan oleh pers, maka pers Indonesia bukan saja akan terus eksis, tapi juga ikut berjasa membangun ekonomi yang kokoh dan mendorong penyerapan tenaga kerja,” tandasnya.
“Tugas para wartawan dan media yang ada saat ini adalah merawat kebangsaan, termasuk dengan menyampaikan kritik dan pandangan-pandangan pers yang independen,” tutupnya.
Ketua AJI Medan, Liston Damanik memaparkan, gelombang digitalisasi yang melahirkan banyak potensi baru seharusnya dapat membuat jurnalis semakin sejahtera.
Menurutnya, jurnalis dituntut bertransformasi cepat dengan perkembangan teknologi. Namun di sisi lain, aspek peningkatan kesejahteraan justru jalan di tempat.
AJI, kata Liston, juga meminta perusahaan yang hendak melakukan perampingan jumlah karyawan harus melakukan musyawarah bipartit sampai ada kesepakatan dengan para pekerja.
“Jika PHK adalah jalan terakhir, maka perusahaan selayaknya membayar hak pesangon pekerja sebagaimana pasal 156 UU Ketenagakerjaan,” katanya.
Rektor UMA, Dadan Ramdan mengungkapkan, pihaknya sangat menyambut baik penyelenggaraan seminar bertajuk jurnalis dan media menghadapi tantangan gelombang digitalisasi. “Ada banyak hal praktis yang dilakukan melalui media sosial. Sebagai akademisi dan pendidik kami paham bahwa dengan adanya media ini harus pandai memilah mana yang baik dan tidak,” ucapnya. (rls)