DENGAN tulisan “novel sejarah” di sampul depan, pembaca sudah langsung diberi
rambu-rambu, bahwa buku Lelaki di Tengah Hujan ini adalah sebuah novel—yang
artinya fiksi atau rekaan; tetapi juga sekaligus sejarah—yang artinya mengandung
kenyataan yang benar-benar pernah terjadi pada zamannya. Rambu-rambu ini
semakin dipertegas lagi dengan keterangan “based on true story”.
Tentu saja Wenri Wanhar sebagai penulis buku ini berhak dan bebas sesukanya
mau memberi proporsi yang lebih besar kadar fiksinya atau mau menulis lebih
banyak kadar akurasi fakta sesuai kenyataan sebenarnya. Begitupun dengan
pembaca, bebas merdeka mau menikmati buku ini sebagai novel fiksi, ataupun mau
menikmatinya sebagai buku sejarah non-fiksi, khususnya tentang sejarah gerakan
mahasiswa menjelang jatuhnya orde baru Soeharto. Memang dibandingkan dengan
buku-buku bergenre memoar atau biografi, Lelaki di Tengah Hujan memiliki kadar
fiksi yang lebih besar; tetapi jelas novel ini memiliki kandungan fakta lebih banyak
jika dibanding genre novel-novel pada umumnya, seperti Dilan atau Milea karya
Pidi Baiq misalnya.
Saya sendiri cenderung memilih menjadi pembaca jenis kedua, berusaha
menikmati episode-episode kisah dua dekade yang lalu, sambil membayangkan
bagaimana kenyataan yang sesungguhnya terjadi pada waktu itu, dan sudah pasti
sembari menerka-nerka siapa nama asli di balik nama-nama samaran (pseudoynm)
dalam novel ini—Bujang Parewa, Joni Trotoar, Nizar, Gaek, dll.
Novel ini dibuka dengan sebuah peristiwa kontroversial yang terjadi 21 tahun lalu dan tetap menjadi pergunjingan di kalangan aktivis gerakan pro-demokrasi bahkan sampai hari ini, yaitu bom Tanah Tinggi. Dari peristiwa meledaknya bom rakitan di rusun Tanah Tinggi, mengalirlah cerita-cerita berikutnya ke dua arah: pertama, dari penangkapan tokoh kita si Bujang Parewa di lokasi ledakan hingga masa-masa setelahnya; kedua, kilas balik riwayat Bujang Parewa sejak awal terjun ke kancah dunia pergerakan hingga menjadi pemimpin gerakan bawah tanah.
Membaca mengikuti alur cerita di dalam novel ini, saya kira ada banyak faktafakta sejarah yang bisa kita ketahui dan bahkan bisa menjadi pelajaran berharga bagi
gerakan mahasiswa generasi pasca reformasi. Apalagi mayoritas aktivis mahasiswa
hari ini adalah generasi kelahiran tahun 1990-an atau bahkan 2000-an. Kita
diingatkan kembali banyak hal yang mungkin sudah dilupakan orang banyak.
Berikut saya coba petik beberapa pelajaran menarik di antaranya.
Masuk ke kancah perjuangan pergerakan rakyat, harus siap menerima risiko
terberat. Tertangkap, disekap dalam ruangan gelap, dipukuli, ditendang,
ditelanjangi, diinterogasi, siksaan demi siksaan, disetrum, dibenturkan ke meja dan
lemari, direndam kepala dalam bak mandi dan kakus (h.21–26, 188), bahkan sampai
diculik dan dibunuh.
Pasca meletus Peristiwa Malari 1974, kampus menjadi musuh rezim, Dewan
Mahasiswa dibekukan dan tokoh-tokohnya ditangkap, gerakan mahasiswa
meredup. Gerakan mahasiswa 1977/78 yang menolak pencalonan kembali Soeharto
juga dilibas. Kebijakan NKK/BKK 1978–79 makin mengekang gerakan. Sejumlah
mahasiswa kemudian aktif di kelompok-kelompok studi, LSM, pers mahasiswa, atau
organ ekstra seperti HMI, PMKRI, GMNI, PMII, dll. (h.28–29)
Periode 1980-an marak berdiri kelompok-kelompok studi atau kelompok
diskusi di Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan kota-kota besar
lainnya. Bermunculan protes-protes mahasiswa yg dimulai dari isu seputar kampus,
lalu berkembang dengan isu-isu di luar kampus. (h.30–31, 71–72) Kelompok studi
menjadi tempat persemaian teori-teori kiri yang menjadikannya bahan kajian,
diskusi, dan perdebatan menarik untuk kemudian dirumuskan dalam gerakan
perlawanan. (h.198)
Pers mahasiswa sebagai pers alternatif di masa represif. Terjadi banyak
pembredelan persma dan pemecatan mahasiswa. Persma membentuk jaringan antar
kampus, mengadakan pertemuan, pendidikan, dan pelatihan bersama, hingga
mendirikan organisasi nasional. (h.111–116) Majalah kampus menjadi corong
utama mengkampanyekan program-program kerakyatan. Isu kampus hingga isu petani di desa mewarnai terbitan pers mahasiswa. (h.201–204)
Membentuk jaringan dan solidaritas antar kampus (h.103–106), seperti
misalnya direpresentasikan dalam novel ini, solidaritas terhadap Peristiwa Subuh
Berdarah di kampus ISTN. (h.155–163)
Membangun organisasi mahasiswa bertaraf nasional. Kesadaran yang semakin
terbentuk mendorong mahasiswa untuk meluaskan komite-komite aksi dan
mempersatukannya secara nasional. Sebagai ekspresi kritik dari mandulnya organ
mahasiswa skala nasional yang diakui pemerintah seperti HMI, PMII, PMKRI,
GMNI, GMKI; dianggap kurang tanggap dan cenderung pasif terhadap rezim Orba
serta jalan pembangunan kapitalistik yang anti-rakyat. Banyak mantan aktivis
organisasi ini yang progresif dan kecewa dan merasa kendaraan mereka yang lama
telah macet mesinnya dalam merespons isu-isu kerakyatan. Mereka butuh
kendaraan baru yang lebih progresif dan radikal. (h.135–141, 200) Solidaritas antar
kampus berjejaring lalu membuat organisasi berskala nasional.
Muncul kesadaran bahwa gerakan mahasiswa tidak akan mampu membuat
revolusi, membuat perubahan total sistem ekonomi politik kapitalistik yang diusung
Orba. Sebagian besar mahasiswa dipaksa keluarga mengejar IPK tinggi agar mudah
diterima lapangan kerja. Sebagian besar masih menganggap gerakan mahasiswa
adalah gerakan moral, sementara gerakan moral telah menciptakan jarak antara
mahasiswa dengan rakyat. Bahwa kelemahan dasar dari gerakan mahasiswa adalah
tidak adanya energi revolusioner untuk menganalisis situasi ekonomi politik
sehingga gagal memberikan solusi, metode, dan strategi serta jalan keluar bagi
pembebasan rakyat. Gerakan mahasiswa tidak mempunyai perspektif untuk
membangun kekuatan rakyat berbasis kelas buruh dan tani, karena tapi tetap asyik
berjuang di arena kelas sosialnya sendiri. Mereka memahami penderitaan dan
penindasan rakyat secara teoretis dari kampus dan buku bacaan, tapi tidak turun ke
tengah rakyat. Kecenderungan lain yang membuat gerakan mahasiswa menjadi
avonturir adalah kerja sama dengan faksi-faksi politik elite dominan. Gerakan
mahasiswa harus menuju gerakan kerakyatan (h.130–134)
Gerakan mahasiswa kemudian berintegrasi dengan gerakan rakyat. Mahasiswa
terus bergerak, menyasar kebijakan pemerintah yang menggusur tanah rakyat
seperti Kedung Ombo (h.92–99), Badega, Kacapiring, Cimacan, Jatiwangi, Cilacap,
dsb. (h.33–34) Menentang rencana pemugaran cagar budaya Benteng Vastemburg
Solo. (h.74–82) Peristiwa Belangguan (h.182–190). Peristiwa Ngrambe & Boyolali
(h.205–212). Mahasiswa mengorganisir buruh di Surabaya dan kawan industri di Gerbang Kartasusila. Di Jakarta mahasiswa yang bertransformasi ke dalam gerakan
mahasiswa progresif kerakyatan mempelopori live in di basis buruh, kemudian
mendorong kelompok buruh melakukan pemogokan besar di Tangerang, Bogor,
dan Pluit. Pengorganisiran buruh terjadi di Jabodetabek, Semarang, Gresik,
Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan, Solo, dll. Perlawanan terus
berlangsung dengan aksi massa, baik di daerah maupun nasional, baik sektoral
maupun aliansi. (h.254–56)
Memajukan gerakan mahasiswa menjadi gerakan rakyat. Kerja-kerja
perlawanan politik menentang kediktatoran Orde Baru Soeharto menjadi
perjuangan rakyat terorganisir. Perjuangan demokrasi pada hakikatnya adalah
perjuangan rakyat menentang segala bentuk penindasan terhadap umat manusia
dalam bentuk apa pun. Penyatuan perlawanan gerakan mahasiswa menjadi strategi
taktik dan program perjuangan demokrasi. Untuk itu dibutuhkan sebuah organisasi
nasional yang dibangun dengan kuat yang mempunyai ideologi, gagasan sosial
demokrasi kerakyatan dalam program danstrategi taktik perjuangannya. Menyadari
perlunya membangun organisasi skala nasional untuk mengakhiri sektarianisme
antarkota, juga mendorong mahasiswa beraliansi dengan rakyat. (h.166–170)
Deployment atau pengiriman kader mahasiswa untuk ditempatkan di wilayahwilayah industri, dikirim ke barak-barak buruh itu untuk menghancurkan watak
borjuis kecil yang arogan, kelewat teoretis dan oportunis. Dengan hancurnya watak
borjuis kecil ini diharapkan dapat melakukan bunuh diri kelas dan sadar akan
pentingnya kekuatan kaum buruh. Dengan cara ini keberpihakan mahasiswa kepada
buruh tidak sebatas teori. (h.225)
Setelah gerakan mahasiswa berhasil melahirkan gerakan tani dan buruh,
tumbuh keberanian rakyat untuk memperjuangkan hak-haknya. Meluas sentimen
antikediktatoran Orba. (h.212) Metode pengorganisiran dengan cara turun ke basisbasis rakyat melahirkan organisasi-organisasi perlawanan di tingkatan massa rakyat.
Dan ketika unsur-unsur demokratis dan kerakyatan telah berdiri di garda depan
menghadapi rezim Orde Baru Soeharto, pergolakan meletus di mana-mana. Anakanak muda itu dengan penuh kesadaran mengasah keberanian mereka.
Kesewenang-wenangan penguasa dilawan dalam bentuk aksi massa dan sikap
politik. Bersama-sama sektor rakyat lainnya, mereka membentuk partai. (h.254,
279–81)
Oleh : Bilven