Oleh: Maulana Taslam*

Pemilihan Umum (Pemilu) pertama yang terjadi di Indonesia dilaksanakan pada tahun 1955, diprakarsai pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap. MC Ricklefs dalam bukunya, berdasarkan UU No 7 Tahun 1953 pemilu tersebut dilaksanakan dalam rangka memilih anggota-anggota parlemen (DPR) dan Konstituante. Konstituante merupakan lembaga yang memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan perubahan terhadap konstitusi Negara.

Sistem yang digunakan pada Pemilu 1955 adalah perwakilan proporsional artinya setiap daerah pemilih akan mendapatkan jumlah kursi atas dasar jumlah penduduknya. Pada Pemilu 1955 terdapat 260 jumlah kursi DPR yang diperebutkan dan 520 kursi untuk Konstituante. Ditambah 14 wakil golongan minoritas diangkat pemerintah. Sementara, sebagai penyelenggara pemilu serentak 2019 Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan Lembaga yang diberi wewenang sebagai penyelenggara Pemilu sejak pertama Komisi Pemilihan Umum (KPU) dibentuk.

Pemilihan umum yang kemudian disingkat menjadi pemilu, dan selanjutnya kata pemilu begitu akrab dengan masalah politik dan pergantian pemimpin, karena pemilu, politik dan pergantian pemimpin saling berkaitan. Pemilu yang diselenggarakan tidak lain adalah masalah politik yang berkaitan dengan masalah pergantian pemimpin.

Dalam sebuah negara demokrasi, pemilu merupakan salah satu pilar utama dari sebuah proses akumulasi kehendak masyarakat. Pemilu sekaligus merupakan prosedur demokrasi untuk memilih pemimpin.

Diyakini pada sebagian besar masyarakat beradab di muka bumi ini, pemilu adalah mekanisme pergantian kekuasaan yang paling aman, bila dibandingkan dengan cara-cara lain. Sudah barang pasti jika dikatakan, pemilu merupakan pilar utama dari sebuah demokrasi.

Manuel Kaisiepo (Menteri era Kabinet Gotong – Royong) menyatakan “Memang telah menjadi tradisi penting hampir-hampir disakralkan dalam berbagai sistem politik di dunia. Lebih lanjut dikatakannya pemilihan umum penting karena berfungsi memberi legitimasi atas kekuasaan yang ada dan bagi rezim baru, dukungan dan legitimasi inilah yang dicari.

Pemilihan umum yang berfungsi mempertahankan status quo bagi rezim yang ingin terus bercokol dan bila pemilihan umum dilaksanakan dalam konteks ini, maka legitimasi dan status quo inilah yang dipertaruhkan, bukan soal demokrasi yang abstrak dan kabur ukuran-ukurannya itu.”

Pertama di indonesia dalam sejarah, selain memilih Presiden dan Wakil Presiden, pemilu 2019 yang lalu juga menjadi momen bersejarah bagi rakyat indonesia untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Kemudian diatur di dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pelaksanaan pemilu serentak.

Mahfud MD mengkritisi bahwa, UU Nomor 7 Tahun 2017 dinilai masih banyak celah sehingga membuat kinerja penyelenggara pemilu menjadi kurang efektif serta Mahfud MD menegaskan bahwa begitu pemerintah nanti terbentuk, siapapun presidennya, segera membuat prolegnas pada tahun pertama agar mengevaluasi dan merevisi UU Nomor 7 tahun 2017 tentang penyelenggaraan pemilu.

Indonesia merupakan Negara yang telah menetapkan dirinya sebagai negara demokrasi, pemilu adalah keniscayaan. Dalam pemilu, aspirasi rakyat dimungkinkan berjalan secara baik.

Pada pemilu pula, rakyat sebagai pemilih akan bisa menilai, bagaimana para kontestan pemilu dapat menawarkan visi, misi, dan program setiap kandidat. Secara teoritis pemilihan umum dianggap merupakan tahap paling awal dari berbagai rangkaian kehidupan ketatanegaraan yang demokratis, sehingga pemilu merupakan motor penggerak mekanisme sistem politik demokrasi.

Pemilihan umum merupakan suatu keharusan bagi suatu negara yang menamakan dirinya sebagai negara demokrasi. Sampai sekarang pemilihan umum masih dianggap sebagai suatu peristiwa ketatanegaraan yang penting, karena pemilu melibatkan rakyat secara keseluruhan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Demikian juga melalui pemilihan umum, rakyat dapat menyatakan kehendaknya terhadap garis-garis politik.

Pemilu adalah wujud nyata demokrasi prosedural, meskipun demokrasi tidak sama dengan pemilihan umum, namun pemilihan umum merupakan salah satu aspek demokrasi yang sangat penting yang juga harus diselenggarakan secara demokratis. Oleh karena itu, lazimnya di negara-negara yang menamakan diri sebagai negara demokrasi mentradisikan pemilu untuk memilih pejabat-pejabat publik di bidang legislatif dan eksekutif baik di pusat maupun daerah.

Profesionalisme yang harus dimiliki penyelenggara seharusnya pihaknya harus mampu menyiapkan SDM yang mampu bekerja secara profesional dan berintegritas, artinya setiap masalah kontestasi diluar, yang penting KPU di dalam bekerja tidak melakukan keberpihakan sebagai penyelenggara berkaca pada Pemilu Serentak Tahun 2019 yang lalu.

Permasalahan yang dikritisi dalam hal ini berkaitan dengan Kepemimpinan, Integritas, Independensi, dan Kompetensi Kepemiluan.

Kepemimpinan merupakan suatu proses dengan berbagai cara mempengaruhi orang atau sekelompok orang untuk mencapai suatu tujuan bersama. Menurut Sodang P. Siagian dalam bukunya mengatakan gaya kepemimpinan seseorang tidak bersifat fixed artinya seseorang menduduki jabatan pimpinan dalam struktural organisasi mempunyai kapasitas untuk membaca situasi yang dihadapinya secara tepat dan menyesuaikan gaya kepemimpinannya agar sesuai dengan tuntutan situasi yang dihadapinya, meskipun penyesuaian itu mungkin hanya bersifat sementara.

Artinya penyelenggara KPU sebagai lembaga yang diamanatkan menjadi lembaga penyelenggara harus mampu memposisikan dirinya sebagai lembaga yang netral dan tidak memihak dengan oknum, elite parpol manapun yang dapat mengurangi dan mencederai Integritas lembaga ini sebagai penyelenggara.

Integritas penyelenggara Pemilu artinya mengandung unsur penyelenggara yang jujur, transparan, akuntabel, cermat dan akurat dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Integritas penyelenggara pemilu menjadi penting, karena menjadi salah satu tolak ukur terciptanya Pemilu yang demokratis dan juga KPU sebagai penyelenggara harus mampu memegang prinsip Independensi.

Pemaknaan dari Independensi artinya Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus independen mandiri atau berdiri sendiri artinya dalam menjalankan segala tugas dan fungsinya tanpa ada pengaruh oleh partai politik tertentu, atau pejabat negara yang mencerminkan kepentingan partai politik atau peserta Pemilu.

Independen menjadi kata yang sangat sakral bagi KPU sebagai penyelenggara Pemilu, karena independen dimaknai sebagai kekuatan penyelenggara Pemilu dalam mewujudkan jalannya demokrasi di indonesia dan juga KPU merupakan wajah dari demokrasi yang ada di indonesia pada saat ini. Tak bisa dipungkiri dukungan hitam diatas putih yang masuk bisa menggambarkan kenetralan dari penyelenggara.

Bukan tidak mungkin ada harapan dari kelompok pendukung untuk bisa mempengaruhi ketika menjadi penyelenggara pemilu. Berkaca dari permasalah OTT KPK yang menjerat salah satu Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan yang terbukti menerima suap dari anggota DPR RI 2019-2024 Harun Masiku untuk meloloskannya menjadi anggota DPR RI Pengganti Antarwaktu (PAW) hal ini terlihat jelas bobroknya profesionalisme penyelenggara dan juga telah mencoreng nama baik Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara. Terkhusus di Provinsi Bengkulu. Dan juga terdapat Kompetensi Kepemiluan yang dimiliki oleh lembaga Komisi Pemilihan Umum.

Selanjutnya mengenai penyelenggara Pemilu saling berkaitan sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, adalah KPU, Bawaslu, DKPP merupakan sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu.

Hal tersebut merupakan Kompetensi Kepemiluan yang dimaksud bahwa setiap penyelenggara pemilu baik KPU, Bawaslu, DKPP serta jajarannya adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan bahkan pengalaman dalam kepemiluan.

Hakikatnya yang menjadi Kompetensi KPU yaitu menetapkan jadwal pemilu, melaksanakan pemungutan suara di berbagai macam TPS, Melakukan rekapitulasi suara serta mengesahkan hasil rekapitulasi suara. Kemudian kompetensi dari Bawaslu merupakan suatu lembaga yang dibentuk untuk melakukan pengawasan yang berwenang menerima dan menindaklanjuti suatu laporan yang berkaitan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu serta memeriksa, mengkaji, pelanggaran berupa administrasi pemilu dan politik uang dan juga memediasi dan mengadjudikasi dan memutus penyelesaian sengketa proses pemilu.

Kemudian, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) merupakan lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu yang berwewenang memanggil penyelenggara pemilu yang diduga melakukan pelanggaran terhadap kode etik untuk penjelasan dan pembelaan serta memberikan sanksi kepada penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar kode etik dan menyampaikan putusan kepada pihak terkait untuk ditindaklanjuti oleh lembaga yang berwewenang untuk memberhentikan seorang penyelenggara yang dianggap bermain dan yang telah mencederai marwah penyelenggara yang telah ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Oleh karenanya dukungan dan pengawasan seluruh masyarakat adalah suatu keharusan untuk mengawal demokrasi yang sehat terkhusus mendekati mengajak kepada seluruh masyarakat untuk turut serta melakukan pengawasan terkhusus mendekati Pilkada Provinsi Bengkulu 2020 dan terkhusus kepada kandidat berkontestasilah secara sehat jangan sampai demi mengejar kekuasaan sehingga menghalalkan segala cara untuk memenangkan kontestasi sampai lupa telah mencederai demokrasi yang ada pada saat ini.

*Mahasiswa Fakultas Hukum UNIB

1 KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here