PAMERAN seni rupa bersama yang berlangsung di Tembi Rumah Budaya saat ini, 18 November – 1 Desember 2020, patut disimak. Salah satu hal yang menarik, para perupa yang berpameran ini sering berpameran bareng, meski tanpa nama kelompok. Rajin berpameran di sejumlah galeri, relatif para perupanya sama, temanya yang berbeda.
Sebenarnya pameran bersama tidak sebatas pada unjuk cipta karya oleh sejumlah perupa. Karya seni rupa memang lazimnya dihasilkan secara perorangan. Namun sejatinya terjalin pertemanan, lama atau baru, di antara para perupa yang terlibat pameran. Bahkan seringkali pertemanan itu bukan sebatas untuk keperluan berpameran, namun dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam interaksi ini, perupa tidak hanya memberi makna pada diri dan karyanya sendiri, tetapi juga di antara para perupa, entah itu obrolan angkringan atau sarana lainnya. Pemaknaan, pemahaman, apresiasi, kritik, sharing wajib untuk pengembangan diri. Meminjam tiga sistem nilai Viktor Frankl, kita bisa memasukkan nilai daya cipta, nilai pengalaman, dan nilai sikap ke dalamnya.
Bagi saya, ketiga sistem nilai ini merupakan paket komplit yang penting dalam pertemanan para perupa. Karena ketiganya unik dan personal sehingga bisa saling memperkaya pemaknaan diri, tidak sebatas aktualisasi dirinya Abraham Maslow.
Dalam interaksi pertemanan sudah tentu konflik dan ketegangan tidak terelakkan. Konflik dan ketegangan sesungguhnya lumrah karena merupakan bentuk dasar interaksi. Di sinilah tingkat kesatuan diuji. Namun bukan penyeragaman atau penyesuaian tajam yang malah bisa mengorbankan identitas dan kualitas individu. Jangan sampai persatuan mematikan individuasi berkarya.
Menurut Georg Simmel, lawan dari persatuan bukanlah konflik tetapi ketidakterlibatan (noninvolment) atau tidak adanya interaksi timbal-balik.
Karenanya, dalam kelompok pertemanan, individualitas perlu tetap terjaga dan berkembang leluasa. Sebab di sinilah orisinalitas, keotentikan, keunikan dan kedirian bisa lahir terekspresikan. Dalam pameran ini, individualitas sedikit banyak terasa dalam karya-karya para perupa.
Lukisan yang merefleksikan kehidupan perupanya, yang mengekspresikan imaji dan emosi personal. Dan sebagiannya berupa lukisan abstrak yang menyiratkan gerak sapuan yang instingtif dan impulsif diri. Lukisan yang dibuat bukan demi kepentingan artitisik semata.
Sedikit intermeso, cara penulisan tajuk ‘pertemanan’ dengan spasi per-tema-nan, yang bukan penulisan baku, menjawil rasa penasaran. Tapi memang begitulah cara pengucapan dalam percakapan keseharian. Menurut saya, cara penulisan ini menunjukkan keseharian, kehidupan nyata yang kita alami. Soal pertemanan adalah soal riil yang menjadi bagian pokok dari kehidupan yang kita jalani, mengalir, tidak baku. Tidak berjarak seperti pada bahasa tulisan.
Dan setelah pameran ini berakhir, jalinan pertemanan para perupanya terus berlanjut. Proses kreatif individual terus berjalan. Interaksi antarteman terus berkelindan. Pada rangkaian pertemanan dalam kesenirupaan, langsung atau tidak langsung, selalu ada proses dan hasil karya, yang siap menyapa publik pada pameran-pameran berikutnya.
Tembi Rumah Budaya