Oleh : Elfahmi Lubis*

Selama ini banyak pertanyaan dan diskursus akademis di publik soal gagasam pemilihan kepala desa dimasukkan dalam rezim Pemilu, sebagai layaknya pemilihan presiden, pemilihan gubernur, dan pemilihan bupati dan walikota. Alasan yang mendasari gagasan ini karena jika dilihat dari segi sistem, sifat, dan tahapan dan program penyelenggaraan Pilkades, sama persis dengan Pilpres dan Pilkada. Oleh sebab itu, mengapa Pilkades tidak juga diberlakukan sama dengan kedua pemilihan tersebut di atas.

Untuk menguji rasionilitas apakah gagasan ini dapat diimplementasikan dalam sistem regulasi Pemilu kita, maka mari kita coba mengurainya dari beberapa dasar argumentasi berikut ini.

Secara administratif dan kewilayahan desa merupakan institusi pemerintahan terendah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Desa dipimpin oleh Kepala Desa yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan: “Kepala Desa dipilih langsung oleh rakyat desa”.

Kalo mau jujur spirit dan yang mengilhami ide pemilihan presiden dan Pilkada langsung pasca amandemen UUD NRI 1945 adalah pemilihan kades. Soalnya, jauh sebelum ada Pilpres dan Pilkada langsung praktek demokrasi langsung dalam sebuah sistem “elektoral” sudah di praktek dalam Pilkades. Oleh sebab itu tidak berlebihan jika gagasan demokrasi langsung itu tumbuh dan bersemi dari wilayah yang namanya desa. Ini sekaligus memberikan message atau pesan bahwa dalam konteks politik, demokrasi, dan sosiologis masyarakat desa jauh lebih dewasa dan matang dalam menjalankan praktek demokrasi langsung dibandingkan masyarakat perkotaan, distrik dan negara.

Termasuk juga ide dan gagasan Pilkada jalur independen/perseorangan pun kalo kita mau jujur sebenarnya mengadopsi spirit dari Pilkades. Soalnya, dalam Pilkades calon tidak dimunculkan oleh partai politik tapi diserahkan kepada mekanisme “pasar demokrasi” rakyat, dengan memberikan ruang dan kesempatan yang sama secara politik bagi setiap warga yg memenuhi persyaratan (rule the game) untuk ikut dalam kontestasi Pilkades. Semua berjalan secara demokratis, elegan, dan bermartabat. Bahkan, kades yang terpilih benar-benar figur yang mempresentase kehendak rakyat pemilih.

Belakangan ini sejak mulai “dikotori” oleh permainan yang sering biasa dipraktekkan dalam Pilkada, telah berimbas juga dalam proses kontestasi Pilkades. Dulu tidak pernah kita kenal praktek money politics dalam Pilkades, kini praktek tersebut mulai menjadi isu yang menyeruak dalam setiap kontestasi Pilkades. Dulu permainan no fair play seperti manipulasi suara dengan berbagai modus, tidak pernah kita dengar dalam Pilkades, kini praktek “kotor” seperti itu selalu mengemuka dalam setiap pelaksanaan Pilkades. Praktek-praktek tersebut tumbuh subur seiring dengan tingginya minat dan libido politik masyarakat untuk menjadi Kades. Soalnya, dengan UU Desa kekuasaan dan wewenang kepala desa semakin besar, ditambah lagi dengan diberinya “kekuasaan” anggaran melalui dana desa. Privilage ini, ternyata cukup menarik minat dan ambisi warga masyarakat untuk menjadi Kades, terkadang dilakukan dengan cara apapun asal dapat memenangkan kontestasi.

Walaupun taksonomi Pilkades secara teknis tidak jauh berbeda dengan Pilpres dan Pilkada, namun pemerintah dan DPR RI sepertinya keberatan memasukan Pilkades sebagai “rezim pemilu” dan tetap menghendaki agar Pilkades merupakan sistem pemilihan sendiri di luar sistem pemilu yang ada. Namun sebagai sebuah ide, saya masih berharap gagasan memasukkan Pilkades ke dalam rezim pemilu perlu diwacanakan, baik dalam level pembahasan UU di DPR dan DPD, maupun di ruang dan lorong akademis dan diskusi kelompok civil society.

Untuk itu, mengutip pendapat Moch Eksan di Kompasiana (28/12/14), Pilkades idealnya dimasukan ke “rezim pemilu”, sehingga diurus oleh institusi penyelenggara pemilu yang sama. Mekanisme, tahapan dan program Pilkades dilakukan bersamaan. Penyelesaian perselisihan hasil Pilkades juga dilakukan melalui jalur pengadilan bukan menjadi kewenangan tunggal dari bupati seperti saat ini. Dimana keputusannya dalam penyelesaian perselisihan Pilkades bersifat final dan mengikat. Kalaupun ada ruang bagi pihak yang tidak menerima keputusan bupati, untuk mengajukan gugatan ke PTUN namun dalam prakteknya tidak terlalu berdampak pada sisi keadilan elektoral.

Diharapkan, proses integrasi pemilu, mulai dari Pilpres, Pilkada sampai Pilkades akan mengukuhkan sistem demokrasi Indonesia. Demokratisasi di negeri ini berarti, sudah benar-benar tuntas. Demokrasi atas, tengah dan bawah yang menguatkan akar kerakyatan dari penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat desa.

*Akademisi UMB

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here