Oleh : Elfahmi Lubis

Sengketa pemilihan kepala desa 2021, telah menjadi keprihatinan banyak pihak. Soalnya, sengketa Pilkades dalam kenyataannya berpotensi menimbulkan konflik horizontal di masyarakat. Kondisi ini diperparah karena regulasi berkaitan mekanisme penyelesaian sengketa Pilkades, belum cukup memadai, fruden, imparsial, dan berkepastian hukum dalam menyelesaikan sengketa Pilkades. Akibatnya, tidak jarang menimbulkan ketidakpuasan dan protes, baik dari calon maupun masyarakat terhadap penyelesaian sengketa Pilkades yang dilakukan.

Saya melihat pangkal persoalan dalam penyelesaian sengketa Pilkades ini disebabkan beberapa hal, diantaranya regulasi dan kelembagaan penyelesaian sengketa. Dari aspek regulasi sebenarnya ada UU Nomor: 6 Tahun 2014 tentang Desa , dan secara teknis diturunkan dalam bentuk Peraturan Menteri Dalam Negeri, Peraturan Daerah, dan Peraturan Bupati. Persoalannya, secara yuridis pengaturan soal mekanisme penyelesaian sengketa Pilkades tidak diatur secara rinci, dan multi tafsir/interpretasi.

Sementara itu dari sisi kelembagaan penyelesaian sengketa, dalam regulasi tidak disebutkan lembaga atau badan apa yang diberikan mandat khusus untuk menyelesaikan sengketa Pilkades. Dalam regulasi, penyelesaian sengketa Pilkades mandatnya sangat luas diberikan kepada Bupati sebagai kepala daerah untuk menentukan bentuk penyelesaian apa yang diambil jika terjadi sengketa Pilkades melalui OPD teknis Dinas Pemberdayaan Desa. Dalam kenyataannya, tindakan penyelesaian sengketa yang dilakukan Bupati sering menggunakan pertimbangan politis bukan yuridis atau hukum. Akibatnya, pihak yang merasa dirugikan atau dicurangi dalam Pilkades, merasa tidak puas dan diberlakukan tidak adil atas penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh kepala daerah.

Untuk itu saya mengusulkan agar pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri untuk mengajukan RUU Pemilihan Kades ke DPR RI dan atau dibuatkan Peraturan Menteri dalam Negeri tentang lembaga independen yang berwenang menyelesaikan sengketa Pilkades. Jika di Pilkada, sengketa administrasi pemilihan dan proses bisa diajukan melalui Bawaslu Provinsi dan Kabupaten/Kota dan memiliki keputusan yang bersifat final dan mengikat. Karena Bawaslu memiliki kewenangan penyelesaian sengketa yang bersifat ajudikasi. Mengapa hal yang sama juga tidak dilakukan dalam Pilkades, dibuatkan lembaga ajudikasi yang independen dan imparsial untuk menyelesaikan baik sengketa administrasi pemilihan, sengketa proses, dan sengketa hasil Pilkades. Dengan tetap menempatkan lembaga peradilan sebagai upaya terakhir untuk menchallange keputusan yang dibuat lembaga alternatif penyelesaian sengketa Pilkades.

Sebagai bahan referensi saat ini mekanisme penyelesaian sengketa Pilkades yang dilakukan merujuk ke UU Desa, Permendagri No 112/2014 sebagaimana telah diubah dengan Permendagri 72/2020, Perda dan Peraturan Bupati masing-masing daerah.

Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan kepala desa, kita mengacu pada Pasal 37 ayat (6) UU Desa yang berbunyi:
(1) Calon Kepala Desa yang dinyatakan terpilih adalah calon yang memperoleh suara terbanyak.
(2) Panitia pemilihan Kepala Desa menetapkan calon Kepala Desa terpilih.
(3) Panitia pemilihan Kepala Desa menyampaikan nama calon Kepala Desa terpilih kepada Badan Permusyawaratan Desa paling lama 7 (tujuh) hari setelah penetapan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Badan Permusyawaratan Desa paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima laporan panitia pemilihan menyampaikan nama calon Kepala Desa terpilih kepada Bupati/Walikota.
(5) Bupati/Walikota mengesahkan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi Kepala Desa paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya penyampaian hasil pemilihan dari panitia pemilihan Kepala Desa dalam bentuk keputusan Bupati/Walikota.
(6) Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan Kepala Desa, Bupati/Walikota wajib menyelesaikan perselisihan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

Dengan demikian, bupati/walikota daerah setempatlah yang diberikan kewenangan oleh UU Desa untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala desa. Dasar hukum lain yang lebih khusus mengatur tentang perselisihan mengenai hasil pemilihan kepala desa adalah Pasal 41 ayat (7) PP 47/2015 yang berbunyi:Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan kepala desa, bupati/walikota wajib menyelesaikan perselisihan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari. Perselisihan yang dimaksud dalam ketentuan ini di luar perselisihan yang terkait dengan pidana.

Apabila setelah penyelesaian perselisihan dalam jangka waktu tersebut masih terdapat pengajuan keberatan atas penetapan calon kepala desa terpilih, maka pelantikan calon kepala desa terpilih tetap dilaksanakan.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, kewajiban penyelesaian perselisihan mengenai hasil pemilihan kepala desa itu ada pada bupati/walikota daerah yang bersangkutan dalam jangka waktu 30 hari sejak tanggal diterimanya penyampaian hasil pemilihan dari panitia pemilihan kepala desa. Dalam praktiknya, pengaturan mengenai penyelesaian perselisihan itu dituangkan kembali dalam peraturan daerah setempat.

Apabila peraturan pelaksananya dilakukan di luar pengadilan (diselesaikan dengan bupati/walikota) dilakukan dengan ADR atau alternatif penyelesaian sengketa yang mengutamakan asas demokrasi, kekeluargaan, dan musyawarah mufakat. Disini, dapat dilihat bahwa peraturan perundang-undangan tersebut belum mewadahi proses penyelesaian sengketa pemilihan kepala desa secara jelas meskipun terdapat peraturan pelaksana.

Penyelesaian sengketa dilakukan oleh Bupati akan memunculkan persoalan. Selain dikhawatirkan adanya ‘keterpaksaan’ para pihak dalam melakukan menyelesaikan sengketa, Bupati memutus penyelesaian sengketa dengan mengeluarkan Keputusan Bupati yang akan berkaitan dengan Hukum Administrasi Negara. Apabila terdapat pihak yang kurang puas dengan keputusan tersebut, maka akan memunculkan problematika gugatan tata usaha negara.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here