KABARRAFFLESIA.com – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan terhadap permohonan yang diajukan Helmi Hasan, Mian, Elva Hartati, dan Makrizal Nedi, pada Senin (14/10/2024).
Para Pemohon mengujikan Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Agenda sidang kali ini yakni pemeriksaan perbaikan permohonan Perkara Nomor 129/PUU-XXII/2024. Dalam persidangan, Mahkfud selaku kuasa hukum menyampaikan beberapa poin perbaikan permohonan.
Beberapa di antaranya, perbaikan pada bagian kewenangan Mahkamah, legal standing dengan menambahkan syarat kerugian konstitusional Pemohon, dan melakukan konstruksi ulang agar bagian legal standing para Pemohon tersebut lebih sistematis dengan memberikan subjudul. Kemudian, sambung Mahkfud, pada alasan permohonan ini mempersandingkan pasal yang dimohonkan pengujian dengan batu uji, yakni menyertakan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UU NRI Tahun 1945.
“Karena Pasal 1 ayat (2) ini basis konstitusional prinsip kedaulatan rakyat dan demokrasi dengan pembatasan kekuasaan, termasuk membatasi masa jabatan kepala daerah agar jabatan tersebut tidak dipangku seseorang dalam waktu yang tidak terbatas. Sementara Pasal 1 ayat (3) adalah basis konstitsional bagi negara hukum dan salah satu prinsipnya asas legalitas agar dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang,” sebut Makhfud dalam Sidang Panel yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama dengan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur.
Sebagai tambahan informasi, permohonan Perkara Nomor 129/PUU-XXII/2024 ini diajukan Helmi Hasan dan Mian (pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Bengkulu), Elva Hartati dan Makrizal Nedi (pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Bengkulu Selatan). Para Pemohon mengujikan Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada.
Pasal 162 ayat (1) UU Pilkada menyatakan, “Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (1) memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan”.
Pasal 162 ayat (2) UU 10/2016 menyatakan, “Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (3) memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan”.
Dalam persidangan perdana yang digelar di MK pada Kamis (26/9/2024), para Pemohon melalui Mahkfud selaku kuasa hukum mengatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Berdasarkan Putusan Nomor 22/PUU-VII/2009, Putusan Nomor 67/PUU-XVIII/2020, dan Putusan Nomor 2/PUU-XXI/2023, maka Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada telah mengalami pergeseran makna konstitusionalitasnya.
Karena MK tidak lagi membedakan antara menjabat secara definitif maupun menjabat sementara dan telah menentukan dengan cara menghitung masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota definitif yaitu terhitung sejak tanggal pelantikan.
Pada sisi lainnya, untuk Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Walikota, pasal-pasal tersebut tidak menjelaskan sejak kapan menghitung masa jabatannya ketika wakil gubernur, wakil bupati atau wakil walikota menggantikan gubernur, bupati atau walikota yang melaksanakan tugas dan wewenang sementara.
Menurut para Pemohon, keberlakuan Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada dengan tanpa menjelaskan cara menghitung masa jabatan bagi pejabat gubernur, bupati, atau walikota sementara, yang ditindaklanjuti oleh KPU dengan menerbitkan PKPU Nomor 8 Tahun 2024 dan Bawaslu dengan menerbitkan SE Nomor 96 Tahun 2024, maka penyelenggara pemilu telah salah dalam menafsirkan putusan MK tersebut. Selain itu, penyelenggara pemilu juga sengaja melawan atau setidaknya mengabaikan putusan MK.
Dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 162 ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai: Pasal 162 ayat (1) ditambah satu ayat sehingga menjadi berbunyi, Ayat (1a) “Dalam hal Gubernur berhalangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan Wakil Gubernur melaksanakan tugas dan wewenang sebagai Gubernur terhitung sejak ditandatangani keputusan pengangkatannya.”
Kemudian, para Pemohon meminta meminta MK menyatakan Pasal 162 ayat (2) UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai: Ayat (2) ditambah satu ayat sehingga menjadi berbunyi, Ayat (2a) “Dalam hal Bupati atau Walikota berhalangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan Wakil Bupati atau Wakil Walikota melaksanakan tugas dan wewenang sebagai Bupati atau Walikota terhitung sejak ditandatangani keputusan pengangkatannya.”