DUNIA musik, atau lebih tepatnya industri musik nasional dalam kurun waktu satu dekade ini mengalami kemorosotan dalam hal perlindungan hak ekonomi atas karya-karya banyak musisi tanah air, maraknya CD bajakan yang dijual bebas, kemudahan mendowload lagu via internet membuat pekerja musik (khususnya pencipta lagu) merugi, meski telah banyak dilakukan pembersihan produk palsu oleh instansi/aparat berwenang tapi hal tersebut tetap tidak bisa diberantas, dan pada akhirnya kita mengamini, membiarkan sekaligus membeli CD bajakan tersebut yang harganya jauh lebih murah dibanding CD asli/originalnya.
Tidak sekali dua kali kita kerap mendengar seorang musisi/pencipta lagu hidup miskin, sakit-sakitan di masa tuanya, padahal dia telah mencipta banyak lagu populer. Dan di Indonesia banyak terjadi yang justru terkenal, dapat banyak uang dari panggung, promo iklan, dan sebagainya adalah si penyanyi yang membawakan karya seorang musisi.
Sudah benar bahwa royalti hak cipta lagu adalah aturan baku yang akan mengatur hak ekonomi musisi pencipta lagu, agar di masa datang tidak lagi terjadi seperti Benny Panjaitan si pencipta lagu “Gereja Tua” yang kepayahan dalam hal ekonomi.
Atau Ebiet G. Ade yang lagunya selalu jadi pengiring berita bencana alam di televisi, atau lagu-lagu Bimbo, yang jadi lagu wajib setiap masuk bulan ramadan, tapi apakah sudah
tercover segala hak royalti lagu-lagu tersebut?. Sementara stasiun tivi mendapat pemasukan dari iklan.
Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah terkait tata kelola hak cipta dan royalti lagu/musik ini tentu harus disambut antusias oleh pelaku-pelaku musik, karena dengan begitu diharapkan tidak ada lagi pencipta lagu yang hidup melarat karena tak mendapat hak ekonomi atas karyanya, padahal lagu ciptaanya demikian populer, diputar di radio, diputar sebagai pengiring gambar di televisi, di cover di chanel youtube, diputar di ruang tunggu/lobby hotel, restoran, di mall, di seminar, konferensi komersil, supermarket/mini market, usaha karaoke, bioskop, di dalam angkutan umum (pesawat, kereta api, bus, kapal laut).
Maka setelah mencermati dan membaca pasal per pasal terkait Peraturan Pemerintah tersebut,
saya menyampaikan beberapa poin pendapat, antara lain:
(1) Mendukung terbitnya Peraturan Pemerintah musik sebagai kemajuan dalam hal perlindungan atas karya musik dan hak ekonomi para seniman musik
(2) Dalam Bab III tentang Tata Cara Pengelolaan Royalti, Pasal 11 Bab (2) yang berbunyi: “Keringanan tarif royalti untuk usaha mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.”
Menurut saya royalti tidak perlu dibebankan/gratis untuk para pelaku usaha mikro kecil menengah/UMKM, kita tahu guncangan ekonomi karena pandemi menyebabkan daya beli lemah, membuat para pelaku usaha mikro sangat minim pendapatan/pamasukan.
(3) Perlu dialog lebih lanjut antara pemerintah, pelaku usaha (ikatan pengusaha), musisi, pelaku industri musik terkait besaran royalti, apakah baru akan diberlakukan sekarang, atau setelah pandemi dinyatakan berakhir, tentu dengan kesepakatan bersama terkait besaran nominal.
Demikian pernyataan ini dibuat, semoga bisa menjadi perhatian bersama antar semua komponen terkait.
Yang pasti dengan terbitnya PP royalti musik ini harus menjadikan para musisi semakin produktif, tenang dalam berkarya, karena hak ekonominya terjamin, dan berefek positif kepada dunia musik nasional di masa depan, karena marak oleh karya-karya indah dan mendidik.
Ditulis Oleh : Tejo Priyono (Ketua Umum Jaker)