Oleh: Qomariah Alwi dan Japarudin
Akan Dibacakan pada acara Haul di Bintuhan pada Sabtu tanggal 24 Desember 2022 di Sekretariat Yayasan AS-SHABA, Di Gedung Sako II Bintuhan Jalan Lintas Barat Sumatra Kabupaten Kaur Propinsi Bengkulu
HABIB AHMAD BIN ALI BIN SYEKH ABUBAKAR
Habib Ahmad (أَحْمَد) bin Ali bin Syekh Abubakar diperkirakan lahir tahun 1868 M di Inat, Hadhramaut Yaman. Sebelum Habib Ahmad berangkat merantau ke Nusantara. Ayahnya Habib Ali bin Ahmad bin Syekh Abubakar sekitar tahun 1886sudah berangkat dulu ke Surabaya dan ke Bima, dan wafat setelah sekitar 5 tahun di Nusantara.
Nasab Habib Ahmad adalah sebagai berikut; Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Abu Bakar bin Muhammad bin Abu Bakar bin Hasan bin Ali bin Hasan bin Syaikh Abu Bakar bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Isa bin Ahmad almuhajir bin Abdullah bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husein bin Ali dan Fathimah binti Muhammad.
Pada sekitar tahun 1891 M, Habib Ahmad dalam usia 23 tahun menyusul ayahnya dari Hadhramaut ke Nusantara dengan kapal uap singgah di India Selatan. Sekitar 4-6 bulan perjalanan ke Surabaya untuk Syiar Islam dan berniaga di kota-kota Jawa Timur dan NTB.Tahun 1895 Habib Ahmad pulang ke Hadhramaut untuk menjemput adiknya Habib Sholeh bin Ali bin Syekh Abubakar yang mau ikut kakaknya merantau.
Tahun 1897, Habib Ahmad bersama Habib Sholeh mulai perjalanan dakwah dan mengembangkan perniagaannya ke Palembang dengan bolak balik ke Jawa. Pada tahun 1316 H atau tahun 1898 M, Habib Ahmad masih sering berkiriman surat dengan pamannya Muhammad bin Abdullah di Inat dan Musytah Yaman. Pada tahun 1898 Habib Ahmad bin Ali menikah dengan Syarifah Hamidah di Palembang tapi tidak mempunyai keturunan. Tahun 1904 Habib Ahmad dan Habib Sholeh makin memperluas wawasan perjalanan ke daerah Bengkulu, Manna, dan Bintuhan.
Pada tahun 1905 di Bintuhan Habib Ahmad menikah dengan gadis Pasar Lama, Aliyah binti Baharudin dan mempunyai 6 orang anak, namun 5 orang meninggal masih anak-anak. Hanya seorang anak perempuan yang hidup sampai tua, yakni Syarifah Maryam. Setelah 14 tahun perkawinannya di Bintuhan, istrinya Aliyah meninggal, lalu Habib Ahmad dijodohkan dengan keponakan Aliyah bernama Kiyama binti Abdus Salam.
Mereka mempunyai anak 7 orang yang hidup sampai tua dan satu meninggal remaja yaitu: Habib Abdullah meninggal usia 10 tahun, Syarifah Halimah, Habib Alwie, Syarifah Solehah, Habib Husen, Syarifah Hamidah, Habib Mahdi, dan Syarifah Thalhah satu-satunya yang masih hidup berusia 81 tahun.
Di Bintuhan, selain berdakwah dan berdagang hasil bumi (lada, kopi, cengkeh) dan pakaian sebagainya dengan kapal ke Jawa dan juga ke Palembang, Habib Ahmad membuat pabrik sabun, membuat genteng di desa Padang Genteng serta membuat mebel kecil-kecilan. Pada tahun 1930 Habib Ahmad mendirikan sekolah MAS (Muawwanatul Khair Arabiah School) di desa Kepala Pasar (lokasi Masjid Sabinul Huda sekarang) di rumah pinjaman dari datuk Yasid (Datuk dari Arifin Nurdin).
Sekolah MAS ini sebagai cabang dari sekolah MAS Osman dan Ibrahim Husendi Bengkulu yang mengajarkan Syariat, al Quran, Bahasa Arab. Lokasi sekolah MAS di Kepala Pasar kemudian pindah ke Simpang Pasar Lama tanah wakaf dari H. Razak ayah dari H. Nurdin (sepupu Kiyama). Habib Ahmad pernah mengirim murid-murid sekolah MAS untuk sekolah ke Mekah selama belasan tahun, antara lain: H. Alwi Syukur (dari Air Dingin), H. Nurdin Kampung (dari Gedung Sake), H. Idris (dari Muara Sahung).
Di antara murid yang dikirim belajar ke Arab, H. Alwi Syukur selesai duluan dan kembali ke Bintuhan mengajar sekolah MAS di Simpang Pasar Lama. Ketika Jepang masuk tahun 1942 sekolah MAS Bintuhan mulai lumpuh terkungkung oleh penjajahan dan kemudian ditutup. Setahun kemudian pada Tahun 1943 Habib Ahmad wafat pada usia 75 tahun dan dimakamkan di desa Jembatan Dua Bintuhan kabupaten Kaur Bengkulu.
Dalam kehidupannya selama 39 tahun di Bintuhan (1904-1943). Habib Ahmad atau yang biasa dipanggil “Tuan Sayyid” akrab berinteraksi dengan penduduk dan memiliki jaringan/relasi di pulau Jawa dan Palembang. Beliau membawa dan mengenalkan Nahdlatul Ulama (NU) kepada masyarakat Bintuhan dan sekitarnya.
Beliau membaur dengan masyarakat setempat, berbahasa Kaur berdakwah ke pelosok-pelosok Sambat, Nasal, Muara Sahung dan sebagainya. Tuan Sayyid Ahmad bersama teman-temannya H. Makruf (datuk dari Sirat), H.M. Ali (datuk dari Syahril), H. Alwi Syukur (Datuk dari Herlian), membangun dan mengelola Masjid Jami’ Asy-Syakirin di Kampung Masjid. Kampung Masjid asal namanya adalah Kampung China karena banyaknya warga China yang tinggal di sana berdagang. Kemudian hampir semua warga China disana masuk Islam (mualaf), maka kampung China diganti nama menjadi Kampung Masjid.
Oleh karena ketakutan dengan penjajah Jepang dan sulitnya kehidupan setelah Merdeka disebabkan transportasi putus, maka bunda Kiyama dan anak-anaknya pindah ke Palembang dengan berjalan kaki tujuh hari tujuh malam via Krui Lampung. Habib Alwie bin Ahmad tidak ikut pindah ke Palembang karena meneruskan usaha ayahnya dan berjodoh dengan gadis Bintuhan.
HABIB SHOLEH BIN ALI BIN SYEKH ABUBAKAR
Habib Sholeh (صَالِح) diperkirakan lahir pada tahun 1886 M. Pada tahun 1895 M dijemput kakaknya Habib Ahmad yang sudah duluan tinggal di Surabaya, dari Hadhramaut ke Nusantara. Ketika itu usia Habib Sholeh 8-9 tahun. Lalu mereka bersama-sama berdakwah dan berdagang di sekitar Jawa dan Sumatera.
Ketika berada di Surabaya Habib Sholeh menikah dengan Syarifah Nur di Surabaya dan mempunyai 2 orang anak bernama: Habib Abdullah dan Syarifah Khadijah.
Seperti hal kakaknya (Habib Ahmad), nasab Habib Sholeh adalah sebagai berikut; Sholeh bin Ali bin Ahmad bin Abu Bakar bin Muhammad bin Abu Bakar bin Hasan bin Ali bin Hasan bin Syaikh Abu Bakar bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Isa bin Ahmad almuhajir bin Abdullah bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husein bin Ali dan Fathimah binti Muhammad.
Ketika Habib Ahmad dan Habib Sholeh berada di Bengkulu dan Bintuhan, Habib Sholeh menikah dengan gadis Manna mempunyai 2 orang anak bernama Habib Husin dan Syarifah Aluya, kemudian ibunya meninggal. Di Bintuhan Habib Sholeh menikah dengan gadis dusun Pepahan Kandang bernama Tema.Tema melahirkan anak bernama Sayyid Muhammad bin Sholeh di rumah Habib Ahmad di Kampung Masjid pada tahun 1329 H atau tahun 1911 M.
Malang tak dapat ditolak, anak tersebut meninggal di usia sekitar 1 tahun dimakamkan di dusun Kandang tersebut. Selanjutnya Habib Sholeh menikah dengan gadis Bengkulu Aminah dan mempunyai seorang anak perempuan bernama Syarifah Fatimah yang sekarang masih hidup berusia 91 tahun tinggal di Kampung Bali Bengkulu.
Habib Sholeh semasa hidupnya selain berdagang dan berdakwah, menekuni dan membantu masyarakat melalui pengobatan alternatif bagi yang membutuhkan. Beliau mengobati penduduk yang membutuhkan pengobatan dengan membacakan ayat-ayat suci Al Quran dan langsung menerjemahkan dan memberikan penjelasan tentang ayat tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Habib Sholeh wafat di Bengkulu pada tahun 1955 dalam usia sekitar 68 tahun dan dimakamkan di Masjid Baitul Huda Kampung Bali Kota Bengkulu.
HABIB ALWI BIN AHMAD BIN ALI BIN SYEKH ABUBAKAR
Habib Alwie -علويlahir pada tanggal 25 Oktober 1925 di Bintuhan.Habib Alwie umur 5 tahun masuk di sekolah MAS bentukan ayahnya di Bintuhan dari tahun 1930 sampai 1933. Kemudian pada usia 8 tahun diantar ayahnya ke Palembang mengikuti pendidikan Belanda: Vervolgsschool 5 thn, Landbow klas 1 thn, Handelsschool 3 thn sambil ikut kursus-kursus tik, steno, bahasa Inggris dan Jepang, sampai tahun 1942. Pada tahun 1942 beliau pulang ke Bintuhan karena ayahnya sakit. Beberapa bulan kemudian ayahnya wafat.
Nasab Habib Alwi adalah sebagai berikut; Alwi Bin Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Abu Bakar bin Muhammad bin Abu Bakar bin Hasan bin Ali bin Hasan bin Syaikh Abu Bakar bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Isa bin Ahmad almuhajir bin Abdullah bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husein bin Ali dan Fathimah binti Muhammad.
Tahun 1942-1950 di Bintuhan, Habib Alwie meneruskan perusahaan sabun ayahnya dan berdagang lokal. Pada tahun 1943 Habib Alwie menikah dengan Zaidah binti H.M. Said, dan dikaruniai 8 orang anak, yaitu: Sayyid Effendy (meninggal), Sayyid Fauzi (meninggal), Syarifah Qomariah (tinggal di Jakarta), Sayyid Aliredha (tinggal di Palembang), Syarifah Aisyah (tinggal di Palembang), Sayyid Chairil Anwar (meninggal), Syarifah Johariah (tinggal di Palembang, dan Syarifah Farida Eriani (tinggal di Jakarta).
Pada era Jepang sampai pasca kemerdekaan tahun 1949, Habib Alwie berjuang sebagai Anggota KNI (Komite Nasional Indonesia) seksi penerangan PRI/PKR (Penjaga Keamanan Rakyat) dan Wakil Komandan Kompi Lasykar Rakyat. Mulai tahun 1950 Habib Alwie meneruskan berdagang interinsulair (antar pulau) berupa hasil bumi, kelontong, tekstil dan sebagainya ke dan dari Jakarta, Semarang, Palembang, Bengkulu dengan nama dagangnya “SAA” (Sayyid Alwie Achmad). Pada tahun 1955, beliau lulus kursus Bon A di Jakarta bersama teman dagangnya dari Bintuhan yaitu Arico (Ibrahim Yasid) dan Awi (Nawawi Kalung).
Tahun 1950, Habib Alwie bersama-sama dengan H. Alwi Syukur, H. Nurdin, H. Ihsan, H. Zahari mendirikan madrasah SRI (Sekolah Rakyat Islam), yang kemudian menjadi PGA NU dan MI-NU (Madrasah Ibtidaiyah Nahdatul Ulama), dan sekarang menjadi SMK Maarif. Namun kondisi transportasi darat saat itu yang sulit karena praktek bumi hangus untuk mengusir penjajah membuat semua aktivitas pendidikan, perdagangan, organisasi dan politik Habib Alwie tak jarang berjalan kaki dari Bintuhan ke Manna termasuk mengunjungi ibu Kiyama dan sanak saudaranya di Bengkulu dan Palembang.
Selama era tahun 1950- 1974, Habib Alwie berkiprah di organisasi NU di Bintuhan dan kemudian sebagai ketua PWNU dan Ketua Partai NU Provinsi Bengkulu. Di dunia politik Habib Alwie berjuang sebagai Wakil Ketua Perutusan Panitia Persiapan menjadikan “Bengkulu” menjadi “Provinsi” pada Nopember tahun 1968. Selanjutnya beliau berjuang merintis cikal bakal “Kaur” menjadi “Kabupaten”. Karena mobilitas makin tinggi serta kebutuhan anak-anak untuk menyambung SMA dan perguruan tinggi, maka bulan Agustus tahun 1967 bunda Zaidah dan semua anak-anaknya pindah ke Palembang.
Tahun 1956-1958 Habib Alwie menjadi Wakil Ketua Anggota DPRDP Kabupaten Bengkulu Selatan dari NU. Tahun 1961 sampai 1970 Habib Alwie menjadi Anggota DPRGR Kabupaten Bengkulu Selatan. Pada tahun 1970 menjadi anggota PPD dan DPRD Tk 1 Bengkulu. Kemudian pada tahun 1970-1971 menjadi Anggota DPRGR No: 99 dan Anggota MPRS No: 306 A, dari Fraksi NU. Pada Pemilu tahun 1971 Habib Alwie Achmad tidak terpilih.
Selama perjuangan dalam organisasi NU dan politik, Habib Alwie tidak hanya mengorbankan tenaga, pikiran dan waktunya. Tetapi juga harta bendanya dari hasil perniagaannya, satu persatu asetnya yang ada di Bintuhan dijual: kebun kelapa yang luas di belakang rumahnya (sekarang lokasi Pasar Inpres dan sekitarnya), kebun kopi dan cengkeh yang luas di Bakal, sawah yang luas di desa Kebuaian Jembatan Dua. Terakhir rumah warisan orang tua di Kampung Masjid Bintuhan. Masih ada satu rumah di Palembang yang ditinggalkan.
Mulai tahun 1974 Habib Alwie kembali dengan aktivitas bisnis yaitu membuat pabrik Tegel di Palembang dan bersama saudara-saudaranya usaha Ekspedisi PGT MAS di Palembang– Lampung- Jakarta. Pada tahun 1990, Habib Alwie bin Achmad bin Syekh Abubakar jatuh sakit dan wafat di Palembang dalam usia 65 tahun. Dimakamkan di pemakaman para Habaib di Jln M.Isa Lorong Gubah Duku, 8 Ilir Palembang.
NB: Sejarah lengkap dan biografi lengkap ditulis dalam buku “Jejak Habib Ahmad dan Habib Alwie”.