(Catatan atas kasus penganten perempuan yang diduga dilarikan mantan Kepala Desa di Bengkulu)
Oleh : Agustam Rachman, MAPS, Pengamat Budaya, Menetap di Yogyakarta.
Seumur dengan peradaban umat manusia. Perkelahian atau pembunuhan yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa antar lelaki dalam memperebutkan perempuan sudah ada.
Dalam Qur’an surat Almaidah 27-31, dikisahkan pembunuhan pertama kali dimuka bumi dilakukan Qabil terhadap Habil keduanya anak nabi Adam AS, karena sebab perempuan.
Ada juga istilah Siri’ pada suku Bugis Makasar, Siri’ adalah membela kehormatan sebagai lelaki yang kadang berujung sampai jatuhnya korban jiwa. Salah-satu penyebabnya karena istrinya diganggu lelaki lain.
Di pulau Madura ada tradisi Carok, yaitu perkelahian dengan senjata celurit antar lelaki biasanya karena membela kehormatan diri atau keluarga. Tidak jarang Carok juga disebabkan karena soal perempuan.
Ada juga pemahaman soal Dayyuts pada masyarakat Sumatera Bagian Selatan (Sumatera Selatan, Lampung dan Bengkulu).
Istilah Dayyuts merujuk bahasa Arab yang artinya secara harafiah ‘Tidak Cemburu pada Istri’. Tapi bukan berarti Cemburu buta. Jika seorang suami yang istrinya diganggu (dilecehkan secara seksual) oleh lelaki lain dan suaminya itu tidak membunuh si lelaki (si pelaku ) maka berlakulah Dayyuts.
Artinya si suami itu jangankan untuk masuk surga, bau surga saja tidak akan dia dapatkan.
Hal ini berdasarkan hadist nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Ahmad dan Nasa’i yang berbunyi:
“Tiga golongan yang Allah mengharamkan surga atas mereka, pencandu bir, anak durhaka kepada orang tuanya dan Dayyuts yang membiarkan kemaksiatan pada istrinya (keluarganya)”.
Peristiwa pembunuhan tahun 1960 di Desa Surabaya Kecamatan Tiga Dihaji Kabupaten OKU Selatan Provinsi Sumatera Selatan yang saya tulis dan dimuat di media zona musi ( http://zonamusi.com, 11-08-2022) dengan judul Tradisi Tumba, Penanda Musibah Besar pada Suku Haji disebut-sebut karena alasan Dayyuts.
Di Bengkulu juga ada kisah peperangan antara Bengkulu dengan Aceh pada abad XV, hal itu terjadi karena Putri Gading Cempaka seorang putri cantik jelita dari Kerajaan Sungai Serut Bengkulu dipaksa oleh raja Aceh untuk dijadikan selir.
Pemaksaan ini menimbulkan kemarahan dan ketersinggungan masyarakat Bengkulu kala itu sehingga menimbulkan perang hebat. Pantang bagi orang Bengkulu jika Kelawai (saudara perempuannya) diganggu atau dilecehkan.
Tentang penghormatan pada Kelawai (saudara perempuan) ini dapat dilihat diartikel saya yang berjudul Megawati, Kelawai dan Koruptor, https://www.garudadaily.com, 14-11/2021
Bagaimana dengan kasus penganten baru inisial IK, perempuan yang merupakan istri sah FY warga Kabupaten Kepahiang Provinsi Bengkulu yang diduga dilarikan oleh IS mantan Kepala Desa Air Putih Kabupaten Bengkulu Utara yang sedang heboh saat ini?
Tentu kita sangat tidak berharap kasus ini berakhir diujung badik seperti tradisi Siri’ masyarakat Bugis Makasar, diujung celurit Madura atau diujung keris seperti tradisi masyarakat Bengkulu zaman dulu.
Karena walaupun larangan perang tanding seperti Siri’, Carok dan Dayyuts secara tegas sudah dilarang dalam pasal 182 KUHP sejak zaman Belanda tapi peristiwa saling bunuh yang dimotivasi karena membela kehormatan masih kerap terjadi.
Dalam kasus penganten baru IK istri sah FY yang dilarikan oleh IS jika polisi tidak segera bertindak profesional maka bukan tidak mungkin Badik, Keris dan Celurit sebagai solusinya.