Oleh: Arki*
Saya terkesima saat melihat foto dokumentasi asli kasus pembunuhan terhadap pekerja jembatan di Nduga. Pelakunya oleh pemerintah menuding TPN OPM sebagai dalangnya. Tudingan tersebut disebut oleh Sebby Sambon bahwa mereka yang melakukannya.
Ketika melihat seluruh dokumen kasus tersebut, saya lalu membandingkanya dengan perilaku sadis yang sering ditunjukan oleh kelompok yang menamakan diri ISIS. Barangkali itulah watak kekerasan hari ini yang subur dengan berbagai baju. Jika di Asia Barat namanya ISIS, kemungkinan di Papua bernama KKB, OTK, dan KKSB. Bahkan berbaju Papua Merdeka pun dibuat sedemikian rupa untuk membenarkan tindakan keji dan sadis.
Tindakan sadis mengatasnamakan OPM, patut dicurigai. Sebab, cara perang yang dilakukan oleh OPM tidak sesadis yang terjadi di Nduga atau daerah lain dengan korban sipil begitu banyak. Dulu, ketika Goliat Tabuni atau Kelly Kwalik, Permenas Awom bahkan pentolan OPM yang asli, ketika mereka melakukan serangan, jarang sampai membunuh orang. Bahkan tembak tentara Indonesia yang saling serang pun, paling sebatas melukai tangan atau kaki, sebatas itu. Kelly sendiri lebih banyak meneror lewat tembakan ke jembatan, atau bodi mobil yang lewat. Jarang ada tembakannya yang menewaskan orang lain.
Memoria Passionis Atau Politik Populisme Barat?
Kapitalis barat membangun semangat identitas sektarian, mampu melahirkan semangat anti kebangsaan dan merongrong kedaulatan negara lain. Tujuannya agar melemahkan negara tertentu agar terima intervensi barat sebagai solusi perbaikanya. ISIS meluas dan habis pelan pelan.
Di Papua, pola balas dendam akibat operasi militer dahulu, makin menyuburkan bibit bibit kekerasan baru. Menurut mereka yang memilih angkat senjata, cara tersebut dilakukan sebagai sumpah akan saudaranya yang dibunuh dan diperkosa oleh oknum aparat saat operasi keamanan dilakukan. Terlebih, era orde baru yang kedepankan keutuhan wilayah daripada kemanusiaan itu sendiri.
Populisme barat sebagai gaya berjuang sektarianisme, seakan merupakan angin segar bagi kelompok yang semangat berjuangnya berlatar belakang dendam atau akibat doktrin sempit. Mereka kemudian mendapat ruang di era populisme saat ini. Tak hanya gerakan kekerasan yang jaya di era tersebut, tuntutan referendum pun makin memuncak di era populisme tersebut. Tak satupun yang berhasil. Kenapa? Karena populisme hanya sekedar untuk meraih simpati dan cari nama, bukan untuk merubah sistem yang anti kemanusiaan apalagi meraih keadilan.
“Status Quo” Papua
Riak kekerasan yang mengatasnamakan kebebasan atau demokrasi di Papua, hanyalah pembenar, dari persekutuan kapitalis barat yang telah unggul dan menguasai Papua, sebagai ladang bisnis mereka.
Jejak sejarah membenarkan apa yang hari ini menyeruak tak ada hentinya. Kita tau, Sukarno yang mencetuskan Pancasila sekalian pendiri Bangsa Indonesia, beliau berhasil membawa Papua kedalam Indonesia, dikenal dengan integrasi 1 Mei 1963. Bahkan, jelas jelas mengumandangkan “bubarkan negara boneka bikinan Belanda” di Papua.
Api revolusi tersebut bertahan hanya belasan tahun. Sebab, Amerika melalui perundingan RI-Belanda soal status Papua, berhasil melakukan penetrasi ekonomi dan politik barat. Kembalinya Imperialisme ke Indonesia melalui jalan Papua itu, mampu mengubah tatanan Pancasila serta birokrasi yang pro pada kepentingan barat. Ditandai dengan berlakunya UU Penanaman Modal asing, lalu kontrak karya pertama freeport diteken.
Sejak itulah, kamus Indonesia di Papua bukan lagi Pancasila, bukan lagi para-para adat (musyawarah mufakat). Eksploitasi kian merajalela hingga sekarang. Kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi, malah di stigmatisasi kedalam separatisme, KKB, OTK dan sebagainya.
Jadilah, sebagian orang Papua anti Indonesia, begitu juga sebaliknya, sebagian elit di Jakarta memandang Papua sebagai masalah separatisme yang terus diberangus dengan senjata.
Mereka lupa bahwa nilai-nilai Pancasila di Papua sebagai kekuatan bersama dalam mewujudkan keadilan, kemanusiaan, menyelesaikan masalah di Honai, Kunume, Para-Para Adat, Tikar Adat, dan seterusnya. Tanpa harus terjebak dalam palang permusuhan yang ditanamkan oleh kapitalis barat sejak dahulu hingga sekarang.
*Aktivis Papua